DbClix

Thursday 18 February 2010

DESAH NAFAS KEBAHAGIAAN.....


Bahagia tak bisa dilukiskan oleh tebaran kata-kata. Bahkan semakin dilukiskan, kebahagiaan itu tak berasa. Kebahagiaan melekat dalam kesenyapan dan diam. Saya merasakan bahagia kala berada antara tarikan dan hembusan nafas. Ketika saya menikmati dan menghayati hirupan dan hembusan nafas dengan detail dipandu kelembutan rasa, di ujungnya membersit kebahagiaan. Akan tetapi, bila saya tak meresapi dengan serius, setiap hirupan dan hembusan nafas, niscaya hidup yang kujalani seolah tak menyajikan makna bahagia. Bahkan cenderung menyodok di dataran kehampaan. Kunci memantik kebahagiaan adalah merasakan dan menghayati kekinian yang terus berjalan. Kebahagiaan berada antara lintasan awal dan akhir, bermukim di saat ini yang abadi. Kala kita bisa menikmati momen keabadian ini, kebahagiaan itu akan meluber dalam hati kita.


Memaknai desah nafas berguna untuk memahami arti hidup. Andai hidup tidak menempel pada diri kita, mungkinkah kita bakal merasakan keindahan dari setiap lintasan kejadian yang telah kita tapaki. Modal dasar bernama hidup telah mengantarkan anugerah lainnya, dan berujung pada kebahagiaan. Berarti, lantaran adanya hidup, kebahagiaan bersemai dalam diri kita. Hidup disini tidak hanya hidup jasmani, namun hidup yang mendasari hidup jasmani, yakni hidup ruhani. Andai ruhani kita hidup, insya Allah kebahagiaan akan mengalir ke muara hati kita.

Apa tanda dan bagaimana menghidupkan ruhani? Ruhani hidup ditandai dengan rasa, ya merasa ketenangan dan kebahagiaan yang hakiki. Bagaimana kala kita disalak kedukaan dan kesedihan? Kedukaan menyangkut hal duniawi menandakan matinya ruhani. Namun kedukaan lantaran merasa jauh dari Allah, adalah tanda hidupnya ruhani. Saya pernah bertutur pada teman saya, “Saat Anda merasa mengalami kematian ruhani, itu pertanda hidupnya ruhani.” Serupa dengan datangnya penyesalan pertanda terbitnya fajar kebahagiaan. Saat hati begitu lama terkurung dalam kegelapan, dan cahaya kebenaran menerobos bilik-bilik hati kita, maka kebahagiaan itu akan meresap di hati.

Sudahkah kita merasakan kebahagiaan? Andai kebahagiaan masih belum dirasakan, sepatutnya kita memeriksa diri sendiri, mungkin bertumpuknya dosa dan kesalahan telah menghalangi kita mencapai kebahagiaan itu. Atau mungkin keringnya rasa syukur di hati kita atas anugerah Allah yang amat berlimpah. Bukankah syukur sebagai resepsionis hadirnya kebahagiaan? Daya tarik berkunjungnya kebahagiaan ke dalam hati kita, lantaran hati kita selalu menyuguhkan rasa syukur yang tak pernah jeda. Kapan harus bersyukur? Syukur tak hanya digunakan saat menggapai kenikmatan, pun saat kejadian pahit menabrak, kita harus rela menyuguhkan syukur. Karena rumus yang hakiki, bukan kebahagiaan yang mengantarkan syukur, namun syukurlah yang mengantarkan kebahagiaan. Kalau kita hendak menyematkan kebahagiaan di hati, perlu kiranya kita membahanakan nyanyian syukur setiap saat, mengikuti tarikan dan hembusan nafas.

Ketika tarikan dan hembusan nafas dialiri spirit syukur, insya Allah setiap tarikan dan hembusan nafas terasa ringan. Memang, dengan bermodalkan bahagia yang direnda dari syukur, insya Allah hidup bakal menjadi lebih ringan. Setidaknya mata tidak melotot, kening tidak mengerut, dan tangan tak mengepal. Yang terpampang penampilan diri berhiaskan senyum yang terus mengembang, wajah melulu menebarkan pancaran optimisme, dan tangan selalu berposisi terbuka.

Mungkin saatnya saya menghayati kebahagiaan, bukan memikirkan kebahagiaan. Semoga Allah SWT mencurahkan hidayahNya pada kita semua agar terus bisa merasakan dan menghayati kebahagiaan lewat tarikan dan hembusan nafas. Wallahu A’lam Bisshowaab.


ALLAH MENGHENDAKI KEBAHAGIAAN

Kebahagiaan menjadi harapan utama setiap insan, bahkan seluruh makhluk yang bermukim di jagat semesta ini tak luput dari kehendak menggapai kebahagiaan. Cacing yang hidup tanpa mata, tanpa telinga menyusur tanah sebagai makanannya, dengannya ia mempertahankan hidupnya. Efeknya, tanah pertanian menjadi gempur, dan petani bisa bercocok tanam di lahan yang subur. Dari tanah yang subur insya Allah akan menghasilkan panen yang makmur. Tikus, ketika dikejar kucing, niscaya akan lari pontang-panting ke sarang pengaman demi mengelak bahaya yang mengancam. Ia lakukan karena menghendaki kebahagiaan. Pohon, kendati tidak ditanam dan disiram manusia, akan tetap tumbuh hingga berbuah. Seluruh fenomena perilaku makhluk yang tersaji di depan kita menandakan bahwa seluruh kehidupan ini menghendaki kebahagiaan. Siapakah yang telah menyusupkan kehendak bahagia itu? Siapakah yang betul-betul mengerti dan memahami cara untuk memeroleh kebahagiaan? Perlulah kiranya kita renungkan.

Sebagai pertanda Allah menghendaki makhlukNya bahagia, Dia telah menetapkan berbagai peraturan yang perlu dijalani manusia guna menempuh kebahagiaan. Kita menyadari kebahagiaan bukan suatu yang instant, seketika diperoleh. Sebagai sebuah kehendak, maka kebahagiaan menjadi cita-cita. Setiap cita-cita harus diperjuangkan, membutuhkan effort atau usaha yang keras. Demi menggapai cita-cita berupa bahagia, kita perlu menempuh pelbagai langkah yang telah ditentukan Allah SWT.

Allah adalah sentrum kebahagiaan. Tak ada yang dilakukan Allah kecuali demi kebahagiaan itu sendiri. Hanya saja, manusia sering berlaku inkonsisten antara kehendak bahagia yang hadir dari hati nurani dengan perilaku hidup yang ditampilkan. Katanya manusia ingin bahagia, tetapi kenapa perilaku hidupnya kerap kali kontras dengan kehendak agung tersebut? Dan mengapa pula, ada orang yag terus dibelit derita? Ya, manusia tersingkir dari lingkaran kebahagiaan lantaran melulu mengikuti kehendak hawa nafsu. Kalau kita renungkan, seluruh pergerakan hawa nafsu bukan untuk menumbuhkan kebahagiaan, hanya meneteskan secuil kesenangan yang akhirnya menurunkan kesedihan ke rongga batin. Kebahagiaan terikat pada kesungguhan manusia mengendalikan hawa nafsu, “Dan adapun orang yang takut pada kebesaran Tuhan-nya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya).” (QS. An-Nazi’at [79]: 40-41).

Allah tidak pernah berbuat dzalim pada hambaNya kecuali hamba sendiri yang berlaku dzalim pada dirinya sendiri. Penderitaan menimpa kita lantaran perilaku dan sikap hidup kita sendiri. Adapun Allah hanya menghendaki kebahagiaan bagi kita.

Karena Allah tidak menghendaki kecuali kebahagiaan, maka segala hal menempa dan menerpa kita hanya demi tercapainya kebahagiaan. Kita dianjurkan shalat guna bisa mencerap kebahagiaan dan merasakan kedekatan dengan Allah SWT. Allah menetapkan kehendak tasyrik, berupa perintah dan larangan, serta kehendak takwin, berupa qoda’ dan qadar, sesungguhnya menghendaki hidup kita berlimpah kebahagiaan. Pembatas-pembatas yang ditetapkan Allah tidak untuk menyandera kebahagiaan kita, bahkan bagaimana mempertahankan kebahagiaan yang bermukim dalam hati kita. Puasa sebagai perisai pencegah dari perbuatan tercela diharapkan bisa mengukuhkan kebahagiaan itu sendiri. Andai manusia tidak berpuasa, justru akan mudah terseret ke dalam perbuatan maksiat. Dari puasa diharapkan ada sistem kontrol yang handal, sehingga manusia tetap terarah menjalani kebaikan. Dari situ, bisa disimpulkan bahwa kehendak dibalik kehendak Allah adalah kebahagiaan. Target dari semua target adalah kebahagiaan.

Allah Maha Mengetahui resep untuk meraih kebahagiaan, karena dariNya kebahagiaan itu dicurahkan. Ketika orang menyandarkan hidupnya pada Allah, niscaya kebahagiaan pun akan meliputinya. Namun, bila manusia telah berpaling dari Allah SWT, maka kebahagiaan tersingkir dari taman hatinya. Dari situ, kita bisa meneguhkan kesadaran akan kata-kata penuh daya, “Tuhanku, Engkaulah Tujuanku, RidhaMU yang aku cari.” Antara kebahagiaan sebagai tujuan dan Allah sebagai tujuan tidak bisa dipisahkan dan dibedakan. Allah menyatu dalam kebahagiaan, dan kebahagiaan menyatu padaNya. Tujuan yang integral.

Karena Allah menghendaki kebahagiaan bagi jagat semesta, maka seluruh peraturan syariat yang ditetapkan bagi manusia tidak pernah lepas dari kehendak inti tersebut. Andai kita menyadari secara mendalam akan kehendak dibalik kehendak Allah, kita akan selalu meluapkan rasa syukur yang tak pernah jeda atas karunia Allah yang terus mengalir dalam hidup ini.

Sekarang kita memahami, kehendak dibalik kehendak Allah adalah kebahagiaan, berarti kita bisa bahagia dalam setiap keadaan yang menghampiri kita. Karena itu, tidak ada kata yang patut kita serukan terus-menerus dalam setiap kesempatan, kecuali alhamdulillah, cermin spirit syukur yang tak pernah sirna dalam hati kita. Bagaimana cara kita memantik kebahagiaan? Ya, kebahagiaan terbungkus dalam syukur. Manakala kita meluncurkan semangat syukur setiap saat, maka kebahagiaan bakal menghias hidup kita.

Syukur salah satu jalan memeroleh kebahagiaan yang kekal dalam hati. Orang bersyukur karena dua faktor. Pertama, bersyukur karena nikmat yang diperoleh. Kedua, bersyukur karena mengingat yang menganugerahkan nikmat, yakni Allah SWT. Yang kedua ini, bersyukur dalam segala keadaan, karena terpaku pada pesona Allah SWT. Dia mengenal tentang sifat-sifat Allah yang full kebaikan. Tak heran, ia masih bersyukur bahagia dalam keadaan yang tercepit sekalipun lantaran merasa Allah masih mencurahkan kasih sayangNya. Andai kita menyadari secara menyeluruh bahwa penciptaan alam semesta didasari rasa kasih sayang Allah, niscaya kita akan menemukan syukur di segala keadaan.

Karena terpesona pada kasih sayang Allah yang meliputi seluruh jagat ini, maka orang-orang arif selalu memiliki alasan untuk melulu bersyukur pada Allah SWT. Ada seorang arif bertutur, “kalau ayam “nyeker-nyeker” untuk memeroleh sebutir makanan, sementara orang arif “nyeker-nyeker” untuk memperoleh alhamdulillah.” Dan orang arif selalu meraup spirit alhamdulillah di setiap kesempatan. Karena itu, ia selalu berhasil menangkap keindahan di setiap keadaan. Mengapa orang arif selalu bersyukur di setiap keadaan? Karena mereka meyakini secara mendalam bahwa sifat Allah, Ar-Rahman dan Ar-Rahim, telah mendasari setiap peristiwa dan kejadian yang menyembul ke permukaan. Andaikan ada musibah, bukanlah serta merta mengundang kesedihan yang mencekam bagi dirinya, malahan dia terus mengingat Allah dibalik musibah itu, mengingatkan kebaikanNya yang tak pernah pudar. Makanya ia peroleh kebahagiaan.

Agar kita selaras dengan kehendak dibalik kehendak Allah berupa kebahagiaan, maka kita diharapkan selalu membudayakan syukur di setiap kesempatan.

KH. Dr. M. Dhiyauddin Qushwandhi
Pentranskripsi: Khalili Anwar
Baca Selengkapnya...

BEGITU BURUKNYA KITA MEMPERLAKUKAN ALLAH.....


Malam itu saya dan keponakanku, Shaka, sedang mencoba laptop baru dan kemampuannya berinternet. Sambil telungkup berdua, kami membuka situs Google Earth, sebuah situs yang memberikan layanan melihat globe (bola dunia) dari luar angkasa dan kemudian bisa melakukan zooming (memperbesar gambar) sampai gedung-gedung terlihat jelas.


“Shaka, coba kau cari posisimu di mana saat ini..” ujarku membuka pembicaraan.

“Waaaaah, kita jadi kecil banget ya Om, kalau di lihat dari luar angkasa……” Jawab Shaka sambil sibuk memutar-mutarkan globe bumi di layar laptop dengan jari-jarinya.

“Nah….. ketemu nih, Di sini kan Om ?” jawab ponakanku.

“Benar. Sekarang temukan posisimu di sisi pencipta dunia itu, maksudku temukan posisimu disisi Allah yang menciptakan Dunia itu…” Tanyaku melanjutkan.

Shaka yang baru saja naik kelas dua SMU bulan Juli kemarin terhenyak sejenak. Ia kebingungan menerima pertanyaan tersebut, apalagi menjawabnya.

“Aku tak tahu Om, beritahukanlah padaku. Om kan lebih ngerti…” pinta Shaka.

Seorang Guru Sufi pernah menasehati :
“Jika engkau ingin mengetahui kedudukanmu di sisi Allah, maka tengoklah di sisi mana engkau menempatkan Allah…”

Rasulullah SAW pernah bersabda :
“Siapa yang ingin mengetahui kedudukannya di sisi Allah, maka hendaknya memperhatikan bagaimana kedudukan Allah dalam hatinya. Maka sesungguhnya Allah menempatkan / mendudukkan hamba-Nya, sebagaimana hamba itu mendudukkan Allah dalam jiwa (hatinya)”.

Tahukah engkau, sering kali manusia menempatkan Allah di lorong gelap atau sudut-sudut sempit qalbunya. Suatu tempat di mana ia “terpaksa” mendatanginya hanya manakala ia berhajat/berkeinginan. Begitu buruknya Allah diperlakukan.

Aku telah membaca dalam kitab-kitab Allah yang dahulu. Allah telah berfirman : ‘Hai anak adam, taatilah perintah-Ku dan jangan engkau memberitahuku apa kebutuhan yang baik bagimu (Jangan engkau mengajari Ku apa yang terbaik bagimu). Sesungguhnya Aku telah mengetahui kepentingan hamba-Ku. Aku memuliakan siapa yang patuh kepada perintah-Ku, dan menghina siapa saja yang meremehkan-ku. Aku tidak menghiraukan kepentingan hamba-Ku, sehingga hamba-Ku memperhatikan hak-Ku (yakni kewajiban terhadap Aku)’

Tapi tetap saja manusia seringkali hanya memberikan “waktu sisa” kepada Allah. Sering kali juga manusia hanya memberikan sisa-sisa tenaga siang harinya untuk Allah. Semua perlakuan buruk terhadap Allah itu dilakukan dengan alasan kesibukan duniawinya mencari rezeki.

Janganlah engkau seperti itu! Kepada manusia, engkau bersembah sujud, karena berpikir manusia itulah yang memegang gajimu. Dan karena itu, engkau abaikan Sang Pemberi Rezeki. Padahal rezekimu yang berada di sisi Allah adalah lebih pasti, dibandingkan dengan rezeki yang sudah ada di genggaman tanganmu.

Janganlah engkau mengadukan kebutuhanmu kepada selain Allah, sebab Dia-lah yang mencukupi segala kebutuhanmu. Bagaimanakah mungkin mengadukan kepada selain Allah untuk mencukupi kebutuhanmu, padahal Allah-lah yang mencukupinya. Dan bagaimana mungkin orang yang tak cukup kuat mencukupi kebutuhannya sendiri (orang yang menggajimu), dapat mencukupi kebutuhan orang lain? Dia sendiri masih mengandalkan rezekinya kepada Allah.

Tidakkah engkau heran, bahwa banyak manusia yang mencoba berlari dari Allah. Meninggalkan Allah untuk kepentingan dirinya sendiri dan kepentingan duniawinya.

Sungguh aku tak habis pikir jika melihat ada orang yang selalu menghindar dari sesuatu yang sangat dibutuhkannya. Namun justru mereka mencari sesuatu yang selain-Nya, padahal ia tidak bisa lepas daripada-Nya (Allah)

Masih untung, Allah berbaik hati tidak memutuskan rezekinya padamu, setelah semua perlakuan burukmu kepada-Nya. Belumkah tiba saatnya bagimu untuk bersyukur ?

Sungguh, semua itu terjadi bukan karena butanya penglihatan, melainkan karena butanya pandangan batin di dalam dada. Karena itu Allah mendatangkan ilham spiritual kepadamu untuk menyelamatkanmu dari hal-hal duniawi dan membebaskanmu dari segala makhluk.

Engkau menjadi orang merdeka atas segala yang engkau kesampingkan, dan menjadi budak dari apa saja yang kau inginkan. Jika dunia yang kau cintai, maka engkau menjadi budak dunia dan mengesampingkan Allah. Sementara jika engkau mencintai Allah, maka engkau menjadi hamba Allah yang baik dan mengesampingkan dunia. Karena itu, keluarlah, keluarlah, keluarlah, anakku, dari kungkungan wujudmu menuju cakrawala luas pandangan batinmu….

Nah, kembali ke perlakuan buruk kepada Allah. Janganlah sekali-kali kau perlakukan Allah dengan sedemikian buruk. Tidak tahukan engkau siapa Allah ?

Bacalah kembali QS Al An’am : 91
“Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya…”

Di dalam sebuah tafsir dijelaskan bahwa ayat tersebut bermakna “Mereka tidak mengenal Allah (me-makrifati Allah) sebagaimana seharusnya Dia dikenal.”
Mungkin inilah arti sabda Nabi SAW : “Aku tak bisa memuji-Mu sepenuhnya” (HR. Baihaqi)

Jika pujian seorang Rasul saja tidak dapat menggenapkan hak-hak Allah atas dirinya, maka apalah artinya pujianmu sebagai manusia biasa. Tidak kah kau merasa keterlaluan jika seorang manusia tidak memuji Allah, bahkan malah membuangnya ke sudut-sudut gelap lorong hatinya ?

Seorang sahabat Nabi, Afudhail bin Iyaadh ra., pernah berkata :
“Sesungguhnya seorang hamba dapat melakukan taat ibadat kepada Allah, hanya menurut kedudukannya di sisi Allah, atau menurut perasaan imannya terhadap Allah, atau kedudukan Allah di dalam hatinya. Jika engkau beranggapan bahwa Allah adalah segalanya, seyogyanya engkau membiarkan Allah ME-RAJA-I di dalam qalbumu, bukan membuang-Nya di sudut gelap hatimu.

Semoga Allah memberikan rahmat kepadamu, agar engkau dapat mengenal-Nya, menghormati-Nya, dan menempatkan-Nya pada posisi yang sepantasnya di dalam qalbumu. Amin Ya Robbal ‘Alamin…”

**********

MEDEKATLAH PADAKU UNTUK MENDEKAT SEBELUM AKU PAKSA TUK MENDEKAT

“Siapa tidak mendekat kepada Allah gara-gara halusnya kebaikan yang Dia berikan, maka ia akan diseret (supaya mendekat) dengan rantai cobaan” [Syaikh Ibnu Araby menulis dalam kitabnya ‘Al-Hikam’]

Seorang Guru Sufi Menasehati :

Anakku, Allah Maha Pengasih dalam segala suasana kepada hamba-Nya. Allah ingin agar hambanya menjadi orang yang shaleh dengan mendekatkan diri kepada-Nya. Maka diberikanlah rezeki kepada hamba-Nya dengan halus agar dia menyadari hadirnya rezeki dari Allah kemudian si hamba akan mendekat dan bersyukur. Rezeki bisa berbagai macam bentuknya, dapat berupa uang, keluarga (anak istri suami), pangkat, jabatan, karier,dan sebagainya.

Serta diberikan-Nya kesehatan secara gratis, agar si hamba mendekatkan diri dan menyukurinya.

Sayang tak semua bisa sadar akan hal itu. Kadang kesehatan berlangsung lama, rezeki melimpah, tetapi hal tersebut tak sanggup mengetuk hatinya untuk bersyukur dan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Maka jadilah ia orang yang tidak sadar akan kasih sayang Allah.

Sama halnya seperti orang yang bermimpi, ia tidak pernah sadar dirinya tidur. Kadang orang harus dibangunkan agar ia sadar dari mimpinya. Maha suci Allah dengan Al Latif-Nya (maha halus) sehingga kebaikan-kebaikan-Nya mengalir deras dengan sangat halus sehingga tak terasa oleh hamba-Nya.

Betapa tidak, bukankah manusia sering lupa kenikmatan tidur, sampai tidur tersebut harus dibeli berupa obat tidur, dan bukankah manusia sering lupa nikmatnya garam, sampai larangan dokter mencegahnya, atau sampai makan pun harus ditakar dan dibatasi jenisnya.

Tetapi, walau demikian, kasih sayang Allah begitu besar kepada hamba-Nya. Karena itu jika peringatan berupa kenikmatan kesehatan dan rezeki gagal membawa si hamba untuk mendekatkan diri kepada-Nya, maka Allah akan memakai cara lain, yaitu melalui bala’, bencana dan musibah yang bisa berbagai macam bentuknya.

Biasanya dengan cara ini manusia relatif dengan cepat menyadari kesalahannya dan kemudian secara cepat mendekatkan dirinya kepada Allah.

Tidak kah kau lihat anakku, ketika laut memperlihatkan keperkasaannya berupa tsunami, ketika bumi menggeliat dengan gempa 7 skala richter, dan ketika merapi mulai terbatuk-batuk. Maka seluruh manusia tersentak, bangun dari tidur lelapnya. Kepal-kepal tangan mulai terbuka, menjadi tangan yang memberi dan menerima. Kepala dan wajah mulai tengadah ke atas, dan doa-doa mulai membumbung ke langit.

Kenanglah kalimat ini anakku, siapa yang tidak suka menghadap (mendekat) kepada Allah dengan halusnya pemberian karunia Allah, maka ia akan diseret supaya ingat kepada Allah dengan rantai ujian (bala’)

Siapa yang tidak suka dan tidak sadar dzikir kepada Allah ketika sehat wal’afiat dan murah rezeki, maka akan dipaksa supaya berdzikir / ingat kepada Allah dengan tibanya bala’ bencana dan musibah.
Maka dalam kedua hal itu Allah berkenan akan menuangkan nikmat karunia yang sebesar-besarnya kepada hamba-Nya, yaitu kenikmatan memiliki keinginan untuk mendekatkan diri kepada-Nya.

Nah Anakku, lihatlah, sebagian orang di bawa mendekati Allah dengan mudah, sedangkan sebagian yang lain di bawa mendekat kepada Allah dengan berdarah-darah.

Allah Maha Pengasih dalam segala situasi. Seruan-Nya muncul melalui bisikan yang halus dan lemah lembut maupun lewat sakit dan musibah.
Anakku, semoga engkau termasuk kepada golongan hamba yang bersyukur dan mendekatkan diri kepada-Nya sehingga Allah tak perlu menurunkan ujian bala bencana, sakit ataupun musibah untuk menyadarkanmu. Amin Ya Allah…


La Hawla Wala Quwwata Ilabillah

Tiada Daya Kekuatan Kecuali Dari Allah


Laa ma’buda illa allah

Tiada yang disembah kecuali Allah


Laa ma’suda illa allah

Tiada yang dituju kecuali Allah


Laa maujuda illa allah

Tiada yang maujud (berwujud) kecuali Allah


Ilahi, anta maksudi

Tuhanku, hanya engkau tujuanku,


Waridhokamatlubi

Dan hanya ridloMulah yang kucari,

A’tini mahabbataka wama’rifataka

Limpahkan Cinta dan Ma’rifatMu kepadaku


Laa ilaha illa allah

Tiada Tuhan kecuali Allah


Allahu Allah…

Allahu Allah…

(Vicky Robiyanto)
Baca Selengkapnya...

Sunday 14 February 2010

BONUS SETEGUK AIR MATA (Kafe Sufi)


Di Kafe Sufi ini, ada menu yang cukup disenangi oleh mereka yang sedang mengalami kehausan dan rasa lapar spriritual.

Karena setiap mereka yang datang selalu mendapatkan sajian minuman khas yang sangat menyegarkan jiwa, Makanan apapun, mereka selalu meminta pada para pelayan kafe, "Seteguk Air Mata".


Yang jelas bukan "air mata buaya spiritual" yang menetes untuk kepentingan duniawi melalui serak-serak basah yang biasa dialunkan dengan nada-nada penuh riya' dan berujung pada kegelapan. Kalau yang itu jelas air mata nafsu, walau dibungkus dzikir dan apa saja yang mengatasnamakan Alah SWT.

Seteguk Air Mata, yang ada di kafe sufi berasal dari Mata Air yang mengalir dari keharuman ruhani dan kebesaran keagungan Allah SWT, dari puncak bukit ma'rifat dan mengalir ke sungai hikmah pengetahuan yang mendalam, lalu bermuara ke samudera hakikat.

Menu yang disajikan dengan gelas yang bersih dan suci, karena gelas-gelas itu adalah jiwa para penempuh jalan Ilahi yang mukhlas.

Cobalah anda buat dirumah, dengan menu-menu sebagai berikut :

1. Siapkan tempat dan kondisi, disertai kewaspadaan dan khawatir pada nafsu anda, dan cegah serta kendalikan nafsu anda itu.

2. Bacalah ayat Allah SWT, dalam Al Qu'an : "Engkau melihat air mata mereka meleleh karena ma'rifat mereka kepada Allah." dan ayat : "Mereka tidak terlena oleh perdagangan dan jual beli, untuk mengingat Allah, dan menegakkan shalat, dan memberikan zakat. Mereka takut (kepada ALlah) di hari ketika hati dan mata hati bergolak."

3. Pergilah ke dapur dengan ucapan yang selalu terelokkan oleh keindahan dzikir bersamaNya, dengan jiwa sabar terhadap cobaan, sedangkan rahasia jiwamu senantiasa membumbung ke wilayah keluhuran, fikirannya di cakrawala yang tinggi.

4. Lalu tafakkurlah sejenak atas nikma Tuhannya, dan bertafakkur atas permadani kemahasucianNya.

5. Bebaskan dirimu dari dirimu, sebelum memegang gelas piala itu. Pada saat seperti itu sampai anda menjadi budak yang merdeka, dan orang merdeka yang menjadi budak, menjadi kaya yang fakir dan menjadi fakir yang kaya. Demikian digambarkan nuansa yang mungkin lebih sebagai wacana saling kontradiktif, semisal yang maujud dan diketahui dan yang mulia dan yang dijadikan tempat kegebiraan, yang dekat dan yang terpuji, yang bicara dan yang diam, yang diterima dan yang takut, yang nyata dan yang ghaib, yang menangis dan yang tertawa.

6. Ketika itu, tuangkan keharuan air mata hakikat kedalam gelas jiwa yang suci, lalu jagalah agar tidak tumpah oleh guncangan hasrat nafsu dan godaan makhluk.

7. Minumlah dengan menyebut Allah Allah Allah, dan air matamu akan semakin mengalir usai Alhamdulillah.

Hal demikian karena anda berada dalam tangis dan tawa dalam susahmu, sedangkan susahmu berada dalam kegembiraanmu, hinamu bercampur dengan bahagiamu, ketakutanmu berpadu dengan harapanmu, dan sebaliknya. Tak ada ketakuta yang hilang karena harapanmu, tidak ada pula harapan yang hilang karena ketakutanmu, pada saat yang sama ia bergaul dengan khalayak manusia, sedangkan hatimu bersama Allah Ta'ala.

KH. Luqman Hakim MA.
(Kutipan dari Tabloid Cahaya Sufi)
Baca Selengkapnya...

Tanda Tangan Rabi'ah Adawiyah (Kafe Sufi)


Namanya juga kafe, maka yang datang juga kalangan selebritis. Tapi selebritis kaum Sufi, tidak seperti selebritis gadungan duniawi. Maksudnya gadungan duniawi itu adalah orang yang menjadi selebritis atas nama Allah, atas nama da'wah, atas nama Islam, dan ujung-ujungnya adalah menukar akhira dengan dunia.


Tapi selebritis Akhirat memang beda. Mereka didunia memang tidak popular. DI bumi tidak dikenal. Paling-paling dikenal ketika sudah wafat. Tetapi mereka sangat popular di kalangan Malaikat, di kalangan ahlus samawat, di kalangan langit sana.

Mereka adalah kekasih-kekasih Allah SWT. dan ketika mereka sering mendatangi kafe sufi ini, mereka biasanya banyak dikerubuti para konsumen kafe. Ada yang meminta doa, ada yang meminta tanda tangan, ada pula yang meminta kenangan jiwa yang tak terlupakan.

Ketika seorang kekasih yang super selebritis tiba, Rabi'ah Adawiyah, maka mereka saling bertanya.

"Wahai Rabi'ah Adawiyah, apa yang menjadi tanda kesempurnaan sang arif?"

Ia menjawab, "Terbakarnya jiwa karena cintanya kepada Tuhannya". Tandanya :

* Ia yang lebih puas kepada Sang Pemberi dibanding pemberianNya.
* Lebih puas pada Sang Pencipta dibanding ciptaanNya.
* Tenggelam dalam lautan kebahagiaan dan kehangusan leburnya.
* Hatinya tentram bersamaNya disertai membiarkan pilihanNya.
* Tidak pernah terkejut dengan bencana maupun cobaan yang dahsyat.
* Mengetahui bahwa Allah adalah yang paling dekat dibanding lainya.
* Allah lebih cinta padanya dibanding siapapun.
* Allah lebih mulia dan lebih agung dibanding segalanya.
* Segalanya ditinggalkan, selain Allah Ta'ala.
* Segalanya yang hilang kau abaikan.
* Segalalanya demi sang Kekasih, kau tinggalkan.
* Sang arif akan tahu membedakan : Mana bisikan nafsu dan mana bisikan ruhani, mana hasrat duniawi dan mana hasrat ukhrawi, mana citaasa keluhuran dan mana citarasa kerendah hinaan.

Setelah itu ditandatangani, layaknya sertifikat. hehehehehe...... Anda Mau...?

KH. Luqman Hakim MA.
(Kutipan dari Tabloid Cahaya Sufi)
Baca Selengkapnya...

MENU ANDALAN : IFTIQAR (Kafe Sufi)


Kali ini ada menu special di kafe sufi. Mereka yang datang kebanyakan orang-orang yang sedang stress dan gelisah, padahal sudah langganan ke kafe, naming kenapa semakin sering ke kafe sufi, semakin kurang rasa puas, semakin dahaga dan lapar jiwanya.

Menu ini sudah di-launching sejak berabad-abad silam, disimpan dalam gudang hikmah dan rahasia. Banyak orang yang sudah mengenal menu ini, tetapi dimana mencari menu special iftiqar ini.


Sebab, orang yang menikmati dan mengkonsumsi menu ini, ia pasti akan langsung buang air besar kesombongannya, tinja kenajisan jiwanya, kotoran takjub dirinya, baju-baju riya’nya akan lepas dengan sendirinya.

Lalu matanya segar, telinganya mendengar, hatinya bersih, sembari menikmati alunan kalam Ilahi, “Wahai manusia, kalian semua sangat butuh kepada Allah, dan Allah Maha Kaya dan Maha Terpuji…”

Menu ini dibagi empatmacam sajian :

1. Sajian untuk dikonsumsi oleh nafsu.
2. Sajian untuk dikonsumsi oleh qalbu.
3. Sajian untuk dikonsumsi oleh ruh.
4. Dan sajian untuk dikonsumsi oleh sirr (rahasi bathin).

Menu iftiqar untuk nafsu, disajikan dari bahan-bahan taqarrub dan ridho, sehingga nafsu tak lagi bergejolak dan liar. Kesadaran meraih ampunan luar biasa tumbuh dibalik semangat memakan kunsumsi menu ini.

Menu iftiqar untuk qalbu, adalah Dzirullah Da’im disertai Mahabah yang istiqomah.

Menu iftiqar untuk ruh, dicampur dengan rempah-rempah kasih saying dan cinta, agar kembali pada kesadaran InayahNya.

Menu sirr, citra yang meliputi semua menu yang ada, dengan Nuansa Musyyahadah dan liqo’ Allah.

Menu sirr ini dilembutkan dan dicuci bersih dari segala hal selain Allah Ta’ala, bersih dari memandang maqom dan haal, bersih dari merasa ikhlas itu sendiri.

Silakan anda mencoba dan datang.

KH. Luqman Hakim MA.
(Kutipan dari Tabloid Cahaya Sufi)
Baca Selengkapnya...

SAJIAN ISTIMEWA ANTI HIJAB (Kafe Sufi)


Di Ibu Kota Kaum Sufi, tiba-tiba terpampang spanduk-spanduk yang mengiklankan menu-menu restoran para Sufi. Para penempuh mulai tersenyum hatinya, dan saling mendiskusikan, menu mana yang harus mereka kunjungi untuk makan malam.

Tiba-tiba para penempuh terjengah ketika memandang spanduk kecil, tapi cukup menonjol, agak tersembunyi dicelah-celah spanduk besar yang ada. “Nikmati Sajian Istimewa Anti Hijab”


Para penempuh tiba-tiba hasrat ruhaninya lapar seketika, disertai dahaga yang memuncak. Qalbunya gemetar, nafsunya tunduk patuh didepan tulisan itu. Ketika membaca iklan itu, airmata mereka sudah meleleh. “Astaghfirullahal’Adziim…!
” begitu mereka serentak mendesahkan jiwanya.

Di depan gerbang Kafe Sufi antrian panjang sampai ribuan orang. Mereka membeli tiket khusus untuk mendapatkan “Menu Anti Hijab”, dan mereka harus membeli tiket itu dengan puasa 10 hari lamanya, dan jika ingin dapat VIP, puasanya 41 hari, penuh dengan keikhlasan yang murni.

Yang dapat Free Pass juga ada, anatar lain wartawan Cahaya Sufi he..he..he.. Walau sedikit nakal, dimaklumi, namanya juga wartawan. Tetap saja dapat perlakuan khusus.

Seorang pelayan yang elok rupawan jiwanya, mulai melayani mereka. Semakin mereka berebut, malah semakin mereka terlempar kebelakan. Karena menu ini tidak boleh dimakan dengan hawa nafsu, sebab kalau memakan dengan hawa nafsunya malah ia terhijab dan tersiksa. Bahkan siapa yang ingin coba-oba, ingin iseng, langsung terhempas dalam kehancurannya.

Para pelayan, akhirnya harus memilih, siapa yang lebih pasrah dan lebih ridho, lebih ikhlas dan lebih cinta kepada Allah SWT, langsung dipersilahkan.

Musik Istighfar, deru konser sholawat dan nada kalimah thoyyibah, berpadu dalam musik Kafe Sufi ini, khusus mengantar sajian menu-menunya.

Para pendatang yang tiba sebenarnya tidak ingin sekedar menikmati menu-menu disana, tapi bagaimana caranya memasak dan resep menu disajian istimewa ini.

Seorang pelayan datang menyodorkan menu-menu utama. Diatas kertas tertulis “Hijab adalah Siksaan yang menjauhkan dirimu dengan Allah.”

Lalu dikertas itu pula tertuang menu-menu sajian Anti Hijab :

1. Masuklah dapur menu masakan anti hijab ini dengan menutup mata kepala dari kain yang dipintal dari semesta lahir bathin, agar segala hal selain Allah tertutup.
2. Ambillah air istighfar untuk direbus dulu dengan api kesadaran taubah.
3. Cucilah tangan anda dan segala alat-alat dengan air keikhlasan, dicui dari kotoran memandang amal baik dan ibadah. Sebab memandang amal sendiri itu adalah lapisan hijab.
4. buang semua rasa takjub pada diri sendiri dan hasrat selain Allah.
5. Masuklah kedalam kendhil yang sudah mulai mendidih dan menggemuruhkan dzikrullah dibalik bunyi air mendidih itu, sejumlah dedaunan dari pohon ma’rifat, yang ditamam di bumi yaqin, dan cabang-cabangnya tumbuh menjulang ke langit Ilahi.
6. Jangan lupa garamnya yang dari Samudera Quthbus Sab/ah (Samudera tempat berenangnya Tujuh Quthub Dunia).
7. Berilah pemanis dengan sesendok gula harapan, anugerah dan indahnya beribadah.

Nah, sekarang para konsumen mulai diingatkan agar tidak memasuki wilayah hijab yang tirainya sangat gelap gulita, apalagi dibalik tirainya semakin gulita mengerikan.

Musibah terbesar manusia adalah hijab. Semua ini akan terbuka, berganti Cahaya Ma’rifah yang agung. Ketika terbuka, akal jadi cerdas, pikiran jadi jernih, hati jadi terang benderang, ruh berhembus kencang menuju Allah, dan sirr menikmati kemesraan dengan Sang Kekasih di Kafe ini.

KH. Luqman Hakim MA.
(Kutipan dari Tabloid Cahaya Sufi)

Baca Selengkapnya...

Tidak Berwajah Ganda


Rasulullah SAW bersabda :

"Orang yang berwajah dua di dunia, berlisan dua, berada dalam neraka." (Hr. Abu Dawud dan Ibnu Hibban).

Berdasar hadist di atas itulah, kaum 'arifun hanya memalingkan wajahnya kepada ALlah Ta'ala. Tak ada dua wajah bagi kaum 'arifun. Dari rahasia ini pula, kaum 'arifun mengambil kesimmpulan bahwa mereka tidak boleh mengambil dua guru Mursyid dalam thariqatnya. Mereka mengatakan, manakala dijumpai seorang Mursyid lebih kamil dan lebih utama dalam thariqat menuju ALlah yang lebih benar dalam mengikuti jijak Rasulullah SAW, maka seorang murid harus berpegang pada Mursyid yang utama tadi. Bahkan para syeikh dan anak-anaknya sekalipun harus mengikuti jejak Mursyid yang utama tadi dalam thariqat. Hal ini merupakan bagian dari keagungan ma'rifat kepada Allah Ta'ala.


Tingkat Kaum 'arifun.
Ketauhilah saudaraku, kaum 'arifun itu bertingkat dan beragam dan dengan tangga yang berjenjang-jenjang, serta derajat yang berbeda berwarna, serta posisi yang bermacam-macam.
- Diantara mereka ada yang mengenal Allah melalui sifat qudrot, maka dia sangat takut kepadaNya.
- Ada yang mengenal Allah melalui sifat karuniaNya, maka dia sangat berbaik sangka (husnudzon) kepada ALlah.
- Ada yang mengenalNya melalui Muroqobah, maka dia mengokohkan kebenaran hatinya.
- Ada yang mengenalNya melalui keagunganNya, lalu ia meneguhkan rasa takut dan cinta.
- Ada yang mengenalNya melalui sifat Maha Mencukupinya, lalu ia sangat fakir kepadaNya.
- Ada yang mengenalNya melalui sifat Maha SendirinNya, lalu ia meneguhkan kebeningan hatinya.
- Ada yang mengenalNya melalui Allah, lalu dia bersambung terus menerus denganNya.

Karena itu :
- Kualitas kema'rifatan rasa takut, tergantung kadar kema'rifatannya atas QudrotNya.
- Kualitas rasa Husnudzon tergantung pada kadar kema'rifatannya pada sifat Anugerah Ilahi.
- Kualitas rasa pembenaran dengan kejujuran hati tergantung kadar kema'rifatan Muqorobahnya.
- Kualitas rasa takut penuh cinta tergantung kema'rifatannya atas Keagungan Allah.
- Kualitas rasa butuh kepada Allah tergantung kema'rifatannya atas Maha mencukupiNya.
- Kualitas rasa bening jiwa tergantng kadar kema'rifatan atas Sifat Maha Sendirinya Allah.
- Kualitas Wushul tergantung kadar kema'rifatannya kepada Rabb Ta'ala.

Begitu pula kalangan "Ahli Langit" dalam beribadah, dalam dataran derajat maqom yang berbeda. Ada sebagian maqomnya adalah Rasa Malu, Rasa Hormat, ada pula Maqomnya adalah Taqarrub dan Kemesraan, ada pula yang maqomnya memandang Anugerah. Bahkan ada yang Muqorobah, Haibah, sebagaimana firman Alah Ta'ala :

"Dan tak ada dari kami melainkan baginya adalah Maqom tertentu." (QS Ash Shoffaat 164)

Kalangan ahli ma'rifat pada umumnya (awam), mengenal Allah mengikuti jejak Rasulullah SAW, dan membenarkan dalam hati mereka, mengamalkan dengan badan mereka, namn kadang mereka berbuat dosa dan maksiat, lalu hidup di dunia penuh dengan kebodohan dan sembrono, dan kala itu mereka dalam bahaya besar, kecuali jika Allah merehmati mereka.

Ada kalangan manusia di atas mereka, yang menganal Allah melalui dalil bukti, yaitu kalangan ilmuan, pemikir dan filosuf, yang meyakiniNya dengan Tauhid melalui argumen dan efek sifat RububiyahNya, dimana mereka mengambil dalil dengan sesuatu yang nyata atas yang tersembunyi, dan mereka meyakini keabsahan dalil pembuktian itu.

Mereka berada dalam jalan yang baik, namun mereka ini sering terhijab dari Allah Ta'ala karena lebih terdindingi oleh pembuktian mereka sendiri.

Sedangkan kalangan khusus dari ahli ma'rifat adalah dari mereka yang memiliki rasa yaqin, mengenal Allah melauli ALlah SWT. Mereka bersiteguh dengan ma'rifatnya, sama sekali tidak disertai argumen dalil atau dilatari oleh sebab akibat. Dalil mereka hanyalah Al Qur'an. dan Cahaya mereka senantiasa melimpah di arena mereka.....

Haalatu Ahlil Haqiqah Ma'Allah (Syekh Ahmad Ar-Rifa'y)
Alih Bahasa oleh : KH. Luqman Hakim MA.
Baca Selengkapnya...

Semangat Berserasi Dengan Allah SWT.


Rasulullah SAW bersabda :
“Seseorang itu berada dalam lindungan sedekahnya sampai ditunaikan kepada sesame atau bersabda:”(sehingga) dipastikan bagiannya terhadap sesamanya.”

Hal demikian, karena seseorang harus meninggalkan sedikit yang dicintainya bagi Tuhannya. Bagaimana (alangkah bagusnya) seandainya semuanya dikeluarkan?

Allah SWT berfirman kepada Nabi Dawud AS, “Berilah kabar gembira kepada para pendosa, bahwa Aku Maha Ampun. Dan berilah kabar kepada kaum shiddiqin bahwa sesungguhnya Aku Maha Cemburu.”


Diriwayatkan bahwa Nabi Yusuf AS, ketika dilemparkan kedalam sumur seakan-akan berkata, “Siapa yang bermain-main dalam khidmah pada Tuhannya, maka tempatnya adalah dalam sumur.”

Ucapan kaum ‘arifin.
Ada sejumlah petikan wacana dari kaum sufi, yang membangkitkan semangat mereka yang berserasi dengan Allah SWT, antara lain :

- Sungguh, bagi orang yang kenal Tuhan, tidak layak mengeluh dari cobaan. Karena setiap orang yang tidak mengenal Tuhan, setiap ucapan adalah pengakuan. Sedangkan bagi orang ‘arif tidak ada lagi pengakuan, dan bagi pecinta tidak ada lagi keluhan.
- Bila pertolongan Allah mendahuluinya, segala luka nestapa akan roboh karenanya.
- Bila pertolonganNya tiba, kewalian menjadi keharusan baginya. Karena pertolongan itulah kewalian ada, dan kewalian merobohkan luka duka.
- Yang urgent bukanlah kewalian, tetapi yang penting adalah pertolongan. Siapapun tak akan meraih kewalian manakala kehilangan pertolongan.
- Orang yang teguh adalah orang yang merahasiakan rahasia.
- Wujud Allah telah membuang wujud makhluk, maka buanglah pengakuan diri, engkau temukan maknanya.
- Siapa yang batinnya benar, maka seluruh ucapannya manis.
- Jangan tertipu oleh indahnya waktu, karena dibaliknya ada sejumlah bencana.
- Jangan tertipu oleh indahnya ibadah, karena didalamnya ada kealpaan dirimu dari sifat RububiyahNya.
- Singkirkan dua rumah (dunia dan akhirat) dan berbahagialah dengan Allah Robbul’alamin.
- Mohon petunjuklah kepada Allah, sebab Dia adalah sebaik-baik bukti. Berserahlah kepadaNya, sebab Dia sebaik-baik tempat berserah diri.
- Sepanjang qalbu hamba bergantung pada selain Allah, maka pintu kebeningan hati tertutup.
- Kemesraan bersama Allah adalah cahaya yang memancar, dan mesra dan gembira dengan makhluk adalah kesusahan.
- Sumber rahasia adalah qalbu orang-orang yang baik bersama Allah, sedangkan hati orang yang dekat dengan Allah adalah benteng rahasia-rahasiaNya.
- Qalbu, ketika gagal diberi cobaan Tuhan ia akan lepas dari wilayah Sang Kekasih.
- Sebaik-baik rezeki adalah yang sesuai denagn kebutuhan. Sebaik-baik dzikir adalah yang tersembunyi (dalam hati).
- TawakAllah, engkau dapatkan kecukupan. Mohonlah, engkau diberi.
- Bukan orang yang jiwanya cerdas, orang yang membuat pilihan, tetapi tidak menurut pilihan Sang Kekasih.
- Menurut apa yang berarti bagimu, engkau raih cita-citamu.
- Sang hamba, jika Allah membencinya, para makhluk akan membencinya. Jika Allah meridhoinya, selain Allah akan meridhoinya.
- Permintaan maaf pecinta pada Sang Kekasih adalah kebajikan. Sedangkan perbuatan dosa pecinta pada Kekasihnya adalah terampuni.
- Siapa yang berhasrat menuju Tuhan, berarti menghamparkan diri untuk cobaan. Rendahkan dunia dan apa yang ada padamu jadikan rasa suahmu berada diantara milikmu.
- Kematian adalah jembatan membentang yang menghubungkan pecinta dengan Sang Kekasih. Seharusnya sang hamba sibuk dengan sesuatu yang esok dipertanggung jawabkan. Jadikan ketaqwaan sebagai pijakan dudukmu, dan jadikan doa sebagai kemesraan hatimu.
- Ingatlah segala sesuatu selain Allah adalah bathil.
- Dan setiap nikmat yang tidak punya tempat akan sirna.
- Cinta itu membakar, rindu itu mencekam. Inilah berita gembira, bagaimana kelak dengan kegembiraan melihat Allah?
- Setiap nikmatr tanpa syurga berarti fana’. Dan setiap cobaan tanpa neraka, berarti ampunan.
- Taubat itu membersihkan ruang rumah jiwa, sedangkan mengaku-aku itu merobohkan dindingnya.
- Ingatlah Allah telah memafkan orang-orang yang buruk, bukankah mereka telah kehilangan pahalanya orang-orang yang berbuat baik?
- Siapkan jawaban aas pertanyaan, dan siapkan jawaban yang benar.
- Carilah apa yang berarti bagimu dengan meninggalkan yang tidak berarti.
- Rezeki itu sudah terbagi, ambisi berarti tertutupi.
- Hamba menjadi merdeka jika menerima pemberianNya, dan orang merdekan itu budak atas ketamakannya. Keluarkan tamak dari hatimu, engkau kekang langkahmu dan melangkahlah menuju padang mahsyar, Allah membekalimu. Karena Allahlah tempat kembalimu.
- Dunia itu hina, mencintainya jadi salah. Dunia hanya sesaat, maka jadikanlah tempat taat.
- Dunia itu semuanya tipu daya, dan akhirat semuanya kebahagiaan. Dunia tempat kesalahan dan akhirat tempat anugerah pemberian.
- Dunia sumber kehampaan, akhirat sumber keserasian denganNya.
- Dasar taqwa itu meninggalkan dunia, maka yang oaling taqwa adalah yang paling selamat.
- Betapa anda telah alpa, utnuk apa anda diciptakan? Betapa anda lemah atas apa anda diperintah? Endkau telah lama terhalang oleh lamunan, jauh dari mengingat ajal.
- Jangan engkau ingkari Tuhanmu dengan mentaati nafsumu.
- Pangkal keselarasan adalah meniggalkan kehampaan. Jika anda ingin kemuliaan, jauhilah kaharaman.
- Sedikit bagimu lebih baik daripada banyak yang membuatmu menyimpang.
- Orang beriman itu banyak aktifnya, sedikit bicaranya.
- Orang munafik itu sedikit perbuatannya banyak bicaranya.
- Taqwalah kepada Allah ketika anda sedang sendiri, engkau akan terijabah doamu.
- Amarah Allah itu lebih dahsyat dari nerakaNya. Ridho Allah lebih besar disbanding syurgaNya. Serahkan urusanmu kepada Yang Maha Mengatur dan Maha Waspada.
- Mencari yang halal itu lebih berat disbanding memindah bukit.
- Setiap kehendak dan dzikir untuk selain Allah adalah hijab antara dirimu dengan Allah.
- Tidak akan terjadi kemesraan antara hamba dengan Tuhannya, hinga terjadi kegentaran antara dirinya dan mekhlukNya.
- Sang hamba tidak sampai pada Allah, hingga ia lepaskan diri dari sahabat hati dengan makhlukNya. Cukuplah permintaanku, adalah bahwa Dia mengetahui masalahku. Setiap Kekasih selain Allah adalah berlebihan Bencana, kehancuran dan keruntuhan Kesusahan, kegelisahan dan putus asa jika yang dituju selain ar-Rahman.
- Tak pernah kulihat orang yang sangat pulas tidurnya selain pencari syurga. Juga tak pernah kulihat orang yang lari dari tidurnya, melainkan pemburu neraka.


Kuputari seluruh timur dan kemudian
Seluruh barat
Kutemukan segala persoalan, semua
Bagi yang Diraja dunia akhirat
CintaNya adalah harapan hatiku
MengingatNya penyejuk matahatiku.


***

Haalatu Ahlil Haqiqah Ma'Allah (Syekh Ahmad Ar-Rifa'y)
Alih Bahasa oleh : KH. Luqman Hakim MA.
Baca Selengkapnya...

Dibalik Keajaiban Kasih Sayang


Rasulullah SAW bersabda :
“Orang yang memiliki kasih sayang, bakal disayang oleh Allah Yang Maha Penyayang – Yang Maha Memberi Berkah dan maha Luhur -, karena itu berikanlah kasih saying kepad siapapun dimuka bui ini, maka yang dilangit, akan menyayangimu.”
(HR. Ahmad, Abu Dawud dan Tarmidzi).

Dalam hadist yang mulia ini ada keajaiban yang luar biasa dari ilmu-ilmu dan rahasia Allah, dimana Al-Musthofa Nabi Muhammad SAW memerintahkan adanya cinta dan kasih saying terhadap semua makhluk di muka bumi, agar kasih saying dari malaikat luhur di langit melimpah pula.


Karena langit adalah jalan bagi turunnya Kasih Sayang Ilahi, dan tempat sumber limpahan-limpahan alam cinta dan kasih saying, sekaligus tempat hunian para malaikat yang dijadikan sebagai perantara rahasia-rahasia antara DiriNya dan para makhlukNya.

- Bila Allah melimpahkan rahmat dalam rahasia malaikat rizqi, maka Allah memberikan pertolongan kepada pencari rizqi.
- Bila Allah melimpahkan rahmat kepada rahasia pencatat amal, maka Allah memberikan kelupaan hamba terhadap keburukan-keburukan.
- Bila Allah mellimpahkan pada rahasia malaikat Raqib, maka Allah memberikan pertolongan dan kasih saying. Kasih saying adalah perilaku jiwa kaum ‘arifin dan sekaligus menjadi mi’raj qalbunya menuju YTuhannya. Sedangkan hamba-hamba Allah yang ‘arifin tadi merupakan pantulan manifestasi Rahmat Tuhan semesta alam bagi para makhlukNya. Dan Dia adalah Maha Suci nan Maha Cinta dan Kasih.

Anak-anak sekalian… Bila kalian mewujudkan sift kasih saying kepada sesame makhluk, anda pasti dirahmati. Jika anda bermajelis dengan kaum ‘arifin, pasti anda sukses jiwamu. Jika anda bertanya pada kaum yang penuh hikmah Rabbaniyah pasti anda mendapatka pengetahuan. Segala sesuatu itu ada kuncinya. Kunci ilmu itu bertanya (jika tidak tahu). Jika anda bias hendaklah bermajelis dengan kaum ‘arifin, yang bias anda gali pengetahuan mereka dan hakikat rumusnya, kelembutan isyaratnya, maka sungguh anda meraih keuntungan. Karena yang paing mulia diantara para Ulama dalah para Ulama Rabbaniyyun, yang sangat agung disbanding siapapun dimuka bumi selain Allah. Karena mereka ini adalah kekasih-kekasih Allah dan pengemban amanah rahasiaNya.

Maka jagalah kehormatan mereka, gerakan intuisi mereka dengan bertanya yang baik. Karena gejolak ombak dari intuisi kaum ‘arifin itu tidak akan pernah sirna keajaibannya. Maka cukuplah disebut tolol bagi seseorang yang tidak mau belajar pada mereka, maraih limpahan dari kemampuan mereka. Padahal Allah SWT telah berfirman :

“Bertanyalah kepada ahli dzikir manakala kalian tidak tahu”.

Nabi SAW juga bersabda :

“Bermajelislah dengan orang-orang yang berjiwa besar dan bertanyalah kepada para Ulama dan bergaullah dengan para ahli hikmah (Ilahiyah).”

Adab pencari ilmu.
Dzun-Nuun al-Mishry berkata : “Ada seorang tokoh di Maroko diceritakan sifat-sifatnya padaku. Hingga akhirnya aku menempuh perjalanan kesana. Selama 40 hari aku diam disana, namun aku tidak mendapatkan pengetahuan apa-apa. Saya tahu tokoh itu sangat sibuk dengan Tuhannya. Padahal aku pun juga tidak pernah sedikitpun mengurangi rasa hormatku. Suatu hari ia melihatku :
“Dari mana seorang pengembara ini?” tanyanya.
Aku ceritakan perjalananku dan sebagian kondisi jiwaku.
“Apa yang membuat anda kemari?”
“Saya ingin menggali ilmu anda…” kataku.
“Taqwalah kepada Allah dan pasrahlah kepadaNya. Karena Dia adalah Yang Maha Memelihara nan Maha Terpuji,” katanya kemudian diam begitu lama.
“Mohon ditambah lagi bagiku, semoga Allah merahmatimu. Saya ini orang yang sangat asing, dan dating dari negeri yang jauh. AKu ingin bertanya banyak hal yang bergolak di batinku…”
“Anda ini pelajar, seorang Ulama atau peneliti?” tanyanya padaku.
“Saya ini pelajar yang sangat butuh pengetahuan.”
“Nah, anda sebaiknya tetap diposisi anda sebagai pelajar. Jagalah adb dan jangan melampaui batas. Sebab jika anda melampaui batas adab tadi malah rusak manfaatnya.
Para cendikiawan itu dari kalangan para Ulama. Sedangkan para ‘arifun itu dari kaum Sufi yang menempuh jalan kebenaran dan menumpuh segala jerih payah kesusahan, mereka pergi dengan kebajikan dunia kahirat.”
“Semoga Alla memberikan rahmat padamu. Kapankah seorang hamba sampai pada tahap yanganda ungkapkan sifatnya itu?” tanyaku lagi.
“Jika ia telah keluarkan hatinya dari sebab akibat duniawi.”
“Kapan seorang hamba bias demikian?”
“Jika ia telah keluar dari merasa bias berdaya dan berupaya.”
“Apakah pangkal akhir seorang ‘arif itu?”
“Jika semuanya seperti tiada ketika semuanya ada.”
“Kapan sampai pada martabat shiddiqin?”
“Jika sudah mengenal dirinya.”
“Kapan mengenal dirinya?”
“Jika telah tenggelam dilautan anugerah. Dan keluar dari tempat ke-egoannya dan berpijak pada langkah keluhuran.”
“Kapan sampai pada sifat-sifat itu?”
“Bila ia duduk di kapal ketunggalan.”
“Apa kapal Ketunggalan itu?”
“Menegakkan ubudiyah yang benar.”
“Lalu kebenaran ubudiyah itu yang bagaimana?”
“Beramal hanya bagi Allah Ta’ala, dan Ridho terhadap ketentuan Allah.”
“Kalau begitu berilah aku wasiat…”
“Aku wasiat kepadamu, agar terus bersama Allah.”
“Lagi…”
“Cukup!”

Abdul Wahid bin Zaid ra, mengisahkan, “Suatu hari aku bertemu dengan seseorang ketika diperjalananku, ia memakai baju dari bulu. Aku ucapkan salam padanya.
“Semoga Allah merahmatimu, aku ingin bertanya suatu hal.”
“Silahkan. Hari-hari telah lewat dan nafas itu dihitung dan dibatasi. Sedangkan Allah terus menerus mendengar dan melihat.”
“Apakah pangkal taqwa itu?”
“Sabar bersama Allah Ta’ala,” jawabnya.
“Sabar itu pangkalnya apa?”
“Tawakal pada Allah.”
“Pangka tawakal?”
“Memutuskan diri hanya bagi Allah.”
“Pangkal memutuskan diri hanya bagi Allah?”
“Menyendiri bersama Allah.”
“Pangkal menyendiri?”
“membuang dari hati, segala hal selain Allah.”
“Kalu hidup paling nikmat?”
“Berbahagia dengan dzikrullah.”
“Kalau hidup paling bagus?”
“Ya, hidup bersama Allah.”
“Apa yang disebut paling dekat?”
“Bertemu Allah.”
“Apa yang paling membuat hati lapar?”
“Pisah dengan Allah.”
“Apa sesungguhnya cita-cita sang ‘arif?”
“Bertemu Allah.”
“Kalau tanda-tanda pecinta Allah itu?”
“Mencintai dzikrullah.”
“Apakah mesra berbahagia dengan Allah itu?”
“Meneguhkan rahasia jiwa bersama Allah.”
“Apakah pangkal kepasrahan diri itu?”
“Menyerahkan diri total terhadap perintah Allah.”
“Lalu pangkal menyerahkan diri total?”
“Mengingat pertanggung jawaban dihadapan Allah.”
“Apakah kegembiraan paling agung?”
“Husnudzon kepada Allah.”
“Kalau manusia paling agung?”
“Manusia yang merasa puas jiwanya pada Allah.”
“Lalu siapa manusia paling kuat?”
“Orang yang meraih kekuatan bersama Allah.”
“Kalau orang yang bengkrut itu siapa?”
“Orang yang rela pada selain Allah.”
“Apakah kehilangan harga diri itu?”
“”Bila menanjak jiwanya tanpa bersama Allah.”
“Kapan seorang hamba terjauhkan dari Allah?”
”Bila ia tertutup dari Allah.”
“Kapan seseorang itu tertutup dari Allah?”
“Bila di hatinya masih ada hasrat selain Allah.”
“Siapakah orang yang alpa itu?”
“Siapapun yang menghabiskan umurnya tanpa disertai ketaatan pada Allah.”
“Apakah zuhud di dunia itu?”
“Meninggalkan segala hal yang menyibukkan hatinya dari Allah.”
“Siapakah orang yang menghadap Allah?”
“Ya, siapapun yang menghadap pada Allah.”
“Lalu siap yang lari dari Allah?”
“Siapapun yang lari dari Alah.”
“Apakah Qolbun Salim itu?”
“Qalbu yang didalamnya tidak ada lagi selain Allah.”
“Tolong beritahu aku, darimana anda makan?”
“Dari kekayaan Allah.”
“Apa sih yang anda sukai?”
“Apapun yang ditentukan Allah padaku.”
“kalau begitu bari aku wasiat…”
“Lakukan taat kepada Allah dan ridho-lah kepada ketentuanNya, bersenanglah dengan dzikrullah, maka kalian akan jadi pilihan Allah.

Orang yang mengenal Allah tidak akan maksiat.
Suatu hari dalam perjalananku, kata Dzun Nuun al-Mishry, aku bertemu dengan orang tua, yang diwajahnya ada tanda sebagai kaum ‘arifin.

“Semoga Allah merahmati anda. Manakah jalan menuju Allah?” tanyaku padanya. “Kalau anda mengenalNya pasti anda jalan menuju padaNya”.
“APakah seseorang bias beribadah kepadaNya tanpa mengenalNya?”
“Apakah orang yang mengenalnya itu maksiat padaNya?”jawabnya.
“Bukankah Adam AS, itu maksiat padaNya dengan keparipurnaan ma’rifatnya?”
“Maka dia lupa, dan………. Sudahlah kita jangan berdebat!”
“Bukankah perdebatan Ulama itu Rahmat?”
“Memang. Kecuali dalam soal konsentrasi Tauhid.”
“Konsentrasi Tauhid yang bagaimana?”
“Menghilangkan pandangan selain Allah karena KemahatunggalanNya.”
“Apakah orang ‘arif itu gembira?”
“Apakah orang ‘arif itu gelisah?” katanya balik Tanya.
“Bukankah orang yang mengenal Allah itu selalu gundah hatinya?”
“Tidak, bahkan orang yang mengenal Allah kegundahan datinya sirna.”
“Apakah dunia bias merubah hati orang ‘arifin?”
“Apakah akhirat bias merubah hatinya?” katanya lebih tajam.”
“Bukankah orang ‘arif itu sangat menghindari makhluk?”
“Na’udzubillah, sang ‘arif tidak pernah gentar dengan makhluk, hanya saja dia hatinya hijrah dan menyendiri bersama Allah.”
“Apakah ada yang mengena orang ‘arif?”
“Nah, apakah ada yang tidak mengenalnya?” jawabnya.
“Apakah sang ‘arif bisa putus asa terhadap perkara selain Allah? Hingga ia harus putus asa?”
“Apakah sang ‘arif itu juga rindu pada Tuhannya?”
“Apakah sang ‘arif pernah kehilangan Allah, sampai ia harus rindu padaNya?”
“Apakah Ismul A’dzom itu?”
“Hendaknya anda katakana, Allah.”
“Banyak sekali ucapan anda tetapi tidak bisa membuat dirimu bergetar oleh charisma Ilahi!” kataku.
“Karena anda berkata dari dorongan dirimu, bukan dari dorongan Ilahi.”
“Nasehati diriku!”
“Sudah cukup banyak nasehat bagimu, yang penting anda tahu bahwa Dia melihatmu.” Lalu aku meninggalkan orang itu. Namun begitu bangkit aku bertanya lagi.
“Apa yang ingin kau perintahkan padaku?”
“Cukuplah dirimu melihat dirimu dalam seluruh tigkah laku jiwamu…”

Yahya bin Mu’adz – Rahimahullah Ta’ala – ditanya :
“Apakah tanda hati benar itu?”
“Hati yang istirahat dari kesusahan dunia,: jawabnya.
“Kalau konsumsi hati?”
“Dzikir yang hidup, tak pernah mati.”
“Lalu kehendak yang benar itu seperti apa?”
“Meninggalkan kebiasaan-kebiasaan manusiawi!”
“Makna rindu?”
“Terus menerus focus pada Yang Di Atas…”
“Kapan perkara hamba Allah tuntas?”
“Jika tentram bersama Allah tanpa hasrat.”
“Kalau tanda-tanda seorang pembunuh?”
“Tandanya ia tidak sibuk (hatinya) dengan urusan makhluk…”
“Lalu pangkal hidayah itu apa?”
“Kataqwaan yang benar!”
“Apa yang disebut dengan kenikmatan?”
“Berserasi dengan Allah.”
“Siapa yang disebut sebagai orang asing?”
“Siapa pun yang cinta dihatinya, tidak mencari keuntungan.”
“Kapan seorang hamapa sampai pada wilayah Tuhannya?”
“Bila hatinya lepas dari segala hal selain Allah Ta’ala.”
“Apakah yang disebut dengan kebebasanagung itu?”
“Penyerahan total kepada Sang Tuhan…”
“Apakah amal paling utama?”
“Dzikir kepada Allah kapan dan dimana saja”’
“Apa yang disebut dengan kebutuhan besar?”
“Kebutuhan besar adalah melanggengkan bahagia bersama Allah.”
“Apakah yang menjadi hijab qalbu?”
“Merasa puas (selesai) dengn Tuhannya.”
“Apakah ihdup yang indah itu?”
“Hidup bersama Yang Maha Agung’”
“Lalu hahikat berserasi dengan Allah?”
“Adalah berlangkah benar dan bersih.”
“Siapakah para pecinta itu?”
“Kaum ‘arifin.”
“Siapa yang disebut orang mulia?”
“Siapapun yang meraih kemuliaan bersama Yang Maha Mulia.”
“Siapa yang disebut manusia utama?”
“Siapapun yang bermesra bahagia dengan Yang Maha Lembut.”
“Siapa yang disebut orang alpa?”
“Siapapun yang menyia-nyiakan usianya.”
“Apakah yang disebut dunia?”
“Segala hal yang membuat anda lupa pada Allah.”

Memang benar, sumber kema’rifatan adalah qalbu, karena firman Allah Ta’ala :

“Sesungguhnya syi’ar itu dari ketaqwaan qalbu.”

Sedangkan sumber Musyahadah adalah kedalaman qalbu. Karena firmanNya:

“Kedalaman qalbu tak pernah dusta terhadap apa yang dilihatnya.”

Sumber cahaya adalah dada, karena firmanNya :

“Bukankah orang yang dilapangkan dadanya oleh Allah terhadap Islam, maka dialah yang mendapatkan cahaya dari TuhanNya?”

Dan segala cinta yang semakin bertambah, senantiasa menambah rasa cinta kita kepada Rasulullah SAW, dan para wali-walinya…

Haalatu Ahlil Haqiqah Ma'Allah (Syekh Ahmad Ar-Rifa'y)
Alih Bahasa oleh : KH. Luqman Hakim MA.
Baca Selengkapnya...

Kepasrahan Jiwa


Riwayat dari Irman bin Hashin,bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda :

“Dari ummatku bakal masuk syurga tujuh puluh ribu orang tanpa hisab.” Mereka bertanya, “Siapakah mereka itu wahai Rasulullah?” Rasulullah SAW bersabda, “Mereka itu adalah orang yang tidak pernah melakukan ruqyah, tidak pernah meramal, tidak pernah berbekam, dan mereka senantiasa tawakal kepada Allah.” (HR. Muslim)

Rasulullah SAW memposisikan “ramalan” diurutan kedua, setelah berupaya untuk tidak berobat yang merupakan derajat murni sejati, yang tergolong ahli fana’, dan mereka senantiasa dalam kehendak Allah SWT.


Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada mereka. Namun betapa sedikit jumlah mereka dalam setiap periode. Karena derajat mereka adalah mewujudkan hakikat tawakal kepada Allah SWT. Kepasrahan total yang meliputi seluruh instrument sebab akibat dan kehendak. Merekalah kaum ‘arifin Billah yang sesungguhnya, semoga Allah meridhoi mereka.

Amboi, jika orang ‘alim itu terbagi dua “
1. Satu golongan yang membuatku terbatas dari keraguan.
2. Satu golongan yang menggunting-gunting diriku dari gunting mereka. Tak lebih dantak kurang mereka itu, dimataku.

Anak-anak sekalian… ketahuilah orang ‘arif kepada Allah SWT dengan ma’rifat yang benar, senantiasa terhanguskan hasratnya dibawah keceriaan dalam wahdaniyahNya. Dan tak ada keceriaan mulai dari Arasy sampai muka bumi yang lebih besar dibandingkan kegembiraan ma’rifat kepada Allah SWT.

Syurga seisinya itu disbanding isi kegembiraan mereka kepada Allah SWT nilainya sangat kecil, lebih kecil disbanding atom, ketika nereka tahu bahwa ma’rifat adalah kegembiraan paling agung dari segala kegembiraan manapun. Siapa yang bertemu Allah SWT, maka mana yang tak bisa ditemukan? Kesibukan apalagi yang akan dilakukan setelah bertemu denganNya? Bukankah melihat selain Allah itu tak lebih dari keliaran nafsu belaka? Hasrat yang rendah? Dan minimnya ma’rifat kepada Allah Ta’ala.

Allah SWT berfirman :

“Katakan, dengan karunia Allah dan dengan rahmatNya, maka dengan karunia dan rahmat itulah kalian semua bergembira…”

Dalam sebagian munajatnya Ibrahim bin Adham ra mengatakan :

“Ilahi, Engkau Maha Tahu syurga dan seisinya, rasanya tak melintas padaku walau sesayap nyamuk setelah Engkau beri aku ma’rifat kepadaMua,dan kemesraanku padaMu, dan Endkau telah membuatkan mencurah untuk tafakur atas keagunganMu, serta Engaku telah menjanjikan padaku utnuk memandang WajahMu.”

Memang, sesungguhnya derajat terendah kaum ‘arifin itu, manakala Allah memasukkannya kedalam neraka yang diliputi adzab, maka hatinya malah tambah cinta kepadaNya, semakin mesra sukacita padaNya, dan semakin rindu kepadaNya.

Ibnu Siirin ra berkata, “Jika aku harus memilih antara syurga dan sholat dua rekaat, aku memilih sgolat dua rekaat. Karena dalam dua rakaat ada ridhonya Allah SWT, taqarrub kepadaNya. Sedang dalam syurga yang ada kesenangan nafsu dan kesenangan manusia.”

Ketika Nabi Ibrahim as dilemparkan kedalam api, “Mereka mengatakan, bakarlah dia, dan mintalah pertolongan pada Tuhan kalian!” kata mereka. Nabi Ibrahim as menjawab, “Cukuplah bagiku Tuhanku dan Dialah sbaik-baik tempat berserah diri, sebaik-baik Tuhan dan sebaik-baik Penolong.”

Kemudian Allah SWT berfirman, “Wahai api jadilah dirimu dingin sejuk dan menyelamatkan atas ibrahim.”

Berserah diri.
Diriwayatkan, ketika Allah SWT berfirman kepada Nabi I(brahim as, “Wahai Ibrahim, engkaulah sahabat dekatku, dan Aku sahabat dekatmu. Maka jangan berpaling dariKu, yang menyebabkan putusnya hubungan kesahabatan antara diriKu dan dirimu, karena orang yang benar-benar mengaku sahabat dekatKu jika dibakar oleh api, hatinya sama sekali tidak bergeser dariKu, karena menghormati kebesaranKu.”

Allah SWT juga menyebutkan dalam Al Qur’an :

“Ketika Tuhannya berkata kepada Ibrahim, “Islamlah”! Ibrahim menjawab, “Aku Islam kepada Tuhannya Semesta Alam.”

Allah SWT mengetahui kepasrahan totalnya (Islam) sampai kemudian ia dilempar kedalam api.

Abu Abdullah bin Muqotil ra bermunajat :
“Ilahi, janganlah Engkau masukkan diriku kedalam neraka, karena api pun bisa menjadi dingin padaku karena cintaku kepadaMu.”

Abu Ayyub as-sikhtiyani ra berkata, “Neraka itu ditakuti, bagi mereka yang lupa akan Tuhannya. Lalu dikatakan pada mereka yang lupa itu : “Raakan semua atas kelalaianmu dalam pertemuan harimu ini…” dengan segenap balasan amalnya.”

Abu Hafsh ra menegaskan, “Saya sangat hawatir atas ma’rifat sebagian orang, yang sudah ditulis di jubah mereka, “Orang-orang merdekanya Allah setelah dikeluarkan dari neraka…”. Namun mereka memohon agar tanda tulisan itu dihapus dari mereka. Jika aku jadi mereka, aku sangat memohon agar tanda itu ditulis diseluruh anggota badanku, dan membuatku cukup bangga: “Akulah dari golongan orang yang dimerdekalan dari neraka…!”. Menurutku, apa yang diraih ahli syurga dalam syurganya adalah Robb Ta’ala, kedekatan padaNya, dan memandangNya serta mendengarkan kalamNya.

Ingat isteri Firaun ketika bermunajat :
“Tuhanku, bangunkan rumah bagiku di sisiMu dalam syurga.”
Sebagaimana disebutkan, “Tetangga dulu, baru rumah.”

Ibrahim bin Adham ra mengatakan, “AKu sangat alu jika tujuan ummatku adalah makhluk, padahal Allah SWT telah berfirman kepada sebagian nabiNya, “Siapa yang berkehendak pada kami, ia tak ingin selain diri kami…”

Sebagian Syekh Sufi mengatakan, “Aku pernah melihat seorang pemuda di Masjidil Haram sedang dalam kondisi menderita dan kelaparan, saya sangat kasihan padanya. Aku punya seraus dinar dalam kantong, lalu kudekati dia. “Hai anak muda, inibuat kebutuhan-kebutuhanmu…” Pemuda itu tidak menoleh sama sekali padaku, dan aku terus mendesaknya. Pemuda itu berkata, “Hai Syeikh, dinar ini sesuatu yang tak bisa aku jual dengan syurga dan seisinya. Syurga itu negeri keagungan, asal sumber keteguhan dan keabadian. Bagaimana aku menjualnya dengan harga yang hina?”

Abu Musa ad-Daylaby, -pelayan Abu Yazid- semoga Allah merehmati keduanya, berkata, “Aku pernah mendengar seorang Syeikh di Bistham mengatakan, “AKu bermimpi, sepertiya Allah SWT berfirman : “Kalian semua sedang mencari sesuatu dariKu – selain Abu Yazid – sesungguhnya dia mencariKu dan mendhendakiKu, dan Aku pun menghedakiNya.”

Abu Abdullah ra mengatakan, “Jadikan Allah itu sebagai majelis dan tempat kemesraan. Disiplinlah khidmah pada Tuhanmu. Maka dunia akan dating kepadamu dalam keadaan merana, dan kau diburu akhirat, dan akhirat begitu rindu…”
“Hai pemburu dunia, tinggalkan dunia, maka duniamemburumu”, lanjutnya.

Abu Said al-Kharraz ra mengatakan, “Suatu hari aku di tempat wuquf, lalu aku ingin memohon kepad Allah SWT sesuatu kebutuhan. Lantas muncul bisikan lembut tanpa suara kepadaku.” Di hadapanmu Allah, kamu masih mencari selain Allah?”

Ada seseorang menulis surat kepada saudaranya, “Amma Ba’du : “Tamparlah muka para penghasrat dunia dengan dunianya, tamparlah pencari akhirat pada wajah pemburunya. Bermesralah dengan Robbul ‘alamin. Wassalam.”

Abu Abdullah an-Nasaj ra mengatakan, “Janganlah menumpuk banyak syurga bagi orang beriman, karena Allah akan memberikan kelayakan yang lebih layak disbanding syurga, yaitu ma’rifat.”

Seseorang sholat jenazah dengan lima takbir. Ditanya kenapa sampai lima kali? “Empat takbiranku untuk si mayit. Dan satu utnuk dua rumah dunia-akhirat)…” katanya.

Kisah terjadi ketika ayat Al Qur’an dibacakan pada Abu Yazid, “Diantara kaian ada yang berharap dunia, dan diantara kalian ada yang berharap akhirat…” Lalu Abu Yazid berkata, “Mana yang berharap kepada Tuhan?”

Amirul Mu’minin Ali bin Abi Thalib kwh, berkata kepada Abu Bakr ash-Shiddiq ra, “Wahai Khalifah Rasulullah SAW, bagaimana anda meraih posisi derajat ini hingga mendahului kami?”
Abu Bakr Shiddiq ra menjawab, “Dengan lima perkara.”
Pertama : Aku dapatkan manusia dua kelompok, pemburu dunia dan pemburu akhirat, sedangkan aku pemburu Tuhan.
Kedua : Sejak aku masuk Islam, aku tak pernah key\nyang dengan makanan dunia.
Ketiga : Aku tak pernah segar minum – minuman dunia.
Keempat : Jika muncul dihadapanku dua pilihan amaliah : amal dunia dan amal akhirat, aku pasti memilih amal akhirat.
Kelima : Aku berguru (bersahabat) pada Nabi SAW, dan aku senantiasa bersahabat yang sebaik-baiknya.
“Sengguh mulia bagimu waha Abu Bakr…” kata Sayyidina Ali khw.

Haalatu Ahlil Haqiqah Ma'Allah (Syekh Ahmad Ar-Rifa'y)
Alih Bahasa oleh : KH. Luqman Hakim MA.
Baca Selengkapnya...

Pendidikan Ilahi


Riwayat dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib KarromAllahu Wajhah, dari Rasulullah SAW bersabda :

“Tuhanku mendidikku, dan Dian mendidik adabku dengan baik.”

Hadist mulia ini melazimkan perwujudan hakikat dengan mengikuti jijak Nabi SAW. Barang siapa yang tergelincir dari adab tersebut akan terjerumus dalam hawa nafsunya. Siapa yang berpisah dengan adab tersebut ia tersesat dan menyimpang.


Maka denagn adab itulah kaum muqirribun menanjakkan hasratnya, rahasia-rahasia kaum ‘arifin memancar. Dan tidak ada arah benar dalam jalan ma’rifat Billa kecuali mengikuti jejak adab Nabi Muhammad SAW. Sedangkan semua tangganya adalah : Dzikir yang terus menerus. Anak-anakku, ingatlah kepada Allah Ta’ala, karena Allah Ta’ala adalah meninggikan perkara, kemuliaan dan karunianua. Kemudian dzikir terbagi dalam bentuk lisan, rukun dan hakikatnya. Bagi sang pendzikir hendaknya :
• Tidak terfokus pada dzikirnya.
• Memiliki hikmah (cita) dan kehendak yang mulia.
• Mempunyai kecerdasan lembut dalam isyarat.
• Niat dan kehendaknya benar (Lilahi Ta’ala).
• Dalam berdzikir tidak bertujuan lain selain Allah Ta’ala.
• Dan tidak menempuh jalan lain selain menuju kepadaNya.

Karena wushul secara total itu dibawah RidhoNya, nukan yang lainNya. Sedangkan terhalang total itu karena sibuk pada yang lainNya.

Bagi orang yang berdzikir hendaknya mengingat Allah secara total dengan penuh pengagungan dan penghormatan. Bukan dengan asal-asalan apalagi dengan kealpaan, karena berdzikir yang tidak mengagungkan dan menghormatinya judtru menimbulkan hijab pada Allah, sebagai bentuk siksa atas sikap meniggalkan pengagungan dan penghormatan itu. Sebab menjaga kehormatan dan pengagungan padaNya itu lebih utama ketimbang dzikirnya.

Tak seorang hambapun yang berdzikir secara hakiki, melainkan akan lupa pada selain Allah Ta’ala. Allah sebagai ganti segalanya. Terkadang sang ‘arig ingin berdzikir, lantas memuncaklah gelombang pengagungan dan kharismaNya, hingga lisannya kelu, lalu jiwanya membumbung karena keagungan WahdaniyahNya, kemudian tampak padanya pancaran rindu dan cinta dari hijab kasih qalbu dan kelembutan, hingga hasratnya sampai pada permadani Uluhiyah dan hamparan medan Rububiyah, atas izin Allah Ta’ala.

Pada saat itulah terbuka dari segala hal selain Dia, atas keajaiban rahasiaNya dan kelembutan ciptaanNya, keparipurnaan kuasaNya dan pancaran cahaya-cahaya SuciNya. Pada saat itulah sang hamba tahu bahwa Allah SWT melakukan apapun yang dikehendakiNya, pada orang yang dikehendaki, bagi orang yang dikehendaki, kepada kehendakNya dan bagaimana kehendakNya, melalui Tangan anugerahNya, pemberian dan kehendakNya.

Tak ada yang menolak atas karuniaNya dan tidak ada yang menghalangi atas hukumNya, maka sang hamba akan sibuk denganNya, menjadi fana’ dibawah Baqa’Nya. Inilah makna dari salah satu kabar, bahwa Allah SWT berfirman dalam salah satu kitabNya, “Siapa yang mengingatKu dan tidak lupa padaKu, maka Kugerakkan hatinya untuk mencintaiKu, hingga ketika ia bicara karenaKu, dan ketika diam, ia diam karenaKu.”

Allah SWT berfirman :
“Yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka tntram dengan dzikir kepada Allah…”

Yahya bun Mu’adz ra berkata, “Dzikir itu lebih besar ketimbang syurga, karena dzikir itu adalah bagian Allah sedangkan syurga itu bagian hamba. Dalam dzikir ada ridho Allah, sedang dalam syurga ada ridho hamba.”

Dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib kwh, beliau kerkata, “Sesungguhnya Allah Ta’ala tampak pada orang-orang yang berdzikir ketika berdzikir dan membaca Al Qur’an, hanya saja mereka tidak melihatNya. Karena Allah Maha Mulia (tidak bisa) dilihat (mata kepada), dan Maha Jelas dari ketersembunyian. Karena itu, menyendirilah kalian semua bersama Allah SWT, dan bermesralah dengn dzikrullah. Tak ada yang turun pada seorang hamba satupun, kecuali ada dalilnya dalam Kitabullah, berupa petunjuk danpenjelasan.”

Mesra dengan Allah SWT.
Abu Abdullah as-Nasaj ra mengatakan, “Sesunguhnya Allah SWT memiliki syurga di dunia, siapapun yang masuk akan aman. Sungguh indah dan sebaik-baik tempat kembali.”
Ditanya, “Syurga apakah itu?”
“Mesra bersama Allah SWT.” Jawabnya.

Dalam sebagian kitabnya Allah Ta’ala berfirman, “Wali-wali dan KekasihKu, bernikmat-nikmatlah kalian dengan mengingatKu, dan bersukacitalah denganKu. Akulah senikmat-nikmat Tuhan bagimu di dunia dan di akhirat.”

Abu Bakr al-Wasithy ditanya, “Apakah anda ingin makanan?”
“Ya,” jawabnya.
“Makanan apa?”
“Satu suapan dari dzikrullah, dengan kejernihan yaqin, dan diatas sajian ma’rifat, dengan tegukan air husnudzon dari wadah ridho Allah SWT.”

Diriwayatkan Allah SWT berfirman kepada Nabi Ibrahim as, “Tahukah kamu mengapa Aku jadikan dirimu sebagai Al-Khalil (sahabat dekat)?” “Tidak,” jawab Ibrahim as.
“Karena hatimu tak pernah lupa padaKu, dan dalam situasi apapun dirimu tak pernah melupakanKu…”
“Jika bukan karena Engkau memerintahkan kami berdzikir kepadaMua, siapakah yang berani mengingatMu? Karena keagungan dan kebesaranMu…?”
Sungguh mengherankan bagaimana orang yang berdzikir, hatinya masih ada dalam tubuhnya ketika mengingat keagunganMu!

Diriwayatkan, bahwa Allah SWT berfirman kepada Nabi Musa as, “Wahai Musa, sesungguhnya aAku tidak menerima sholat dan dzikir kecuali pada orang yang tunduk pada keagunganKu, hatinya terus menerus takut padaKu dan usianya dihabiskan untuk mengingatKu. Wahai Musa! Orang seperti itu, ibarat syurga firdaus di antara syurga, rasanya tak pernah berubah, daunnya tak pernah kering, maka Aku jadikan rasa takutnya sebagai rasa aman baginya, dan Kujadikan cahaya ketika dalam kegelapan, dan Aku ijabah sebelum berdoa, serta Aku beri sebelum meminta kepadaKu.”

Dalam suatu hadits disebutkan, Allah SWT berfirman, “Siapa yang sibuk dzikir padaKu jauh dari meminta padaKu, akan Aku beri sesuatu yang lebih utama disbanding yang Kuberikan mereka yang meminta padaKu.”

Nabi Isa as mengatakan, “Betapa bahagia orang yang berdzikir kepada Allah SWT, dan tidak mengingat kecuali hanya Allah SWT. Dan bbahagialah orang yang takut penuh cinta kepada Allah SWT, dan tidak takut kecuali hanya pada Allah SWT.”

Diriwayatkan bahwa Nabi Ya’qub as ketika munajat, “Oh kasihan sekali Yusuf…” Maka Allah SWT menurunkan wahyu, “Sampai kapan kamu ingat Yusuf terus? Apakah Yusuf itu makhlukmua, atau rizkimu, atau yang memberimu kenabian? Maka demi kemuliaanKu, seandainya kamu mengingatKu, dan kamu sibuk mengingatKu dengan menepis ingatan yang lain, sungguh Aku bebaskan derita dalam dirimu seketika!”
Maka, Nabi Ya’qub tahu atas kesalahannya adlam mengingat dan menyebut Yusuf, lalu ia pun membungkam lisannya.

Rabi’ah al-Bashriyah ra mengatakan, “Betapa menakutkannya di saat ketika aku tidak mengingatMu!”

Nabi Musa as, suatu hari bermunajat :
“Ya Ikahi, benarkah Engkau dekat hingga aku munajat kepadaMua? Ataukah Engkau jauh hingga aku memanggilMu?”
“Aku senantiasa bersama orang yang mengingatKu, dekat dengan orang yang bersuka cita denganKu, lebih dekat disbanding urat nadi,” jawab Allah SWT.

Dzun Nuun al-Mishry ditanya, “Kapankah seorang hamba benar-benar sufistik dalam dzikrullah?” . “Manakala ia ma’rifat dengan Allah SWT, dan bebas dari selain Allah SWT.” Jawabnya.

Ali bin Abi Thalib – KarromAllahu Wajhah – menegaskan, “Dzikrullah itu makanan jiwa, memuji Allah itu minuman jiwa, dan malu pada Allah SWT itu pakaian jiwa. Tak ada yang lebih lezat ketimbang mengingaNya, dan tak ada yang lebih nikmat ketimbang bermesra denganNya.”

Dalam salah satu kitabNya, Allah SWT berfirman, “Siapa yang mengiingatKu dalam batinnya, maka Aku mengingatnya dalam diriKu, siapa yang mengingatKu di padang luas, Aku pun mengingatnya di padang luas, siapa yang mengingatku dengan segenap dirinya, maka Aku mengingatnya dengan segenapKu.”
Para makhluk pada menjerit pada iblis, sedangkan iblis menjerit karena orang-orang yang berdzikir, lalu beliau membaca ayat, “Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa manakala bertemu dengan segolongan syetan (dengan godaannya), mereka berdzikir kepada Allah, dan ketika itu pula mereka memandang kesalahan-kesalahannya.” (Al-A’raaf 201)

Ibnu Abbas ra mengatakan, “Tak seorangpun dari orang beriman melainkan dalam dirinya ada syetan, apabila mengingat Allah syetan terpedaya, dan jika ia lupa dzikir maka syetan menggoda.” Dzikrullah adalah obat, penyakit manapun tidak akan mengancamnya. Sedangkan mengingat manusia itu penyakit, obat manapun tak akan menyembuhkannya.

Jadikan dzikir itu sebagai kiblat cita-citamu, dan penerang lampu dalam masjid fikiranmu. Ketahuillah bahwa hakikat sukacita nan mesra adalah mengingat sang Kekasih, yaitu melupakan lainNya.

Siapa yang aktif mengingat Allah SWT akan sirna selain Dia, lalu ia hangus dibawah kelembutan CiptaNya, seluruh dirinya habis dibawah Kemaha-indahan pertolonganNya, lalu tenggelam di lautan ingatan anugerahNya.

Manusia punya dua hari raya setahun
Sedang bagi penempuh seluruh hidupnya dari raya
Dzikir adalah kebiasaannya
Pujian adalah kesantaian jiwanya
Hati di alam kerajaan Ilahi Rabb
Sangat penuh suka cita.

Haalatu Ahlil Haqiqah Ma'Allah (Syekh Ahmad Ar-Rifa'y)
Alih Bahasa oleh : KH. Luqman Hakim MA.
Baca Selengkapnya...

Tentang Syahwat


Syaikh Abdul Qadir Jailani ra mengatakan : Apabila dalam dirimu sudah terdapat syahwat untuk menikah, sedangkan dirimu masih dalam keadaan fakir dan kamu tidak mampu untuk membiayai pernikahan tersebut, maka bersabarlah sambil menanti rezeki dan kelapangan dari sisi ALlah SWT. Misalnya dengan jalan ALlah menghilangkan syahwat itu dan mencabutnya dari dalam dirimu dengan sifat QudrahNya. Dengan demikian, Allah juga telah menolongmu, menjagamu dan menyelamatkanmu dari beban menanggung biaya pernikahan itu sekaligus. Atau Allah akan memberikan mauhibah (pemberian) yang menyenangkan dan mencukupi tanpa memberikan beban di dunia maupun di akhirat. Allah akan memberikan nama kepadamu dengan julukan "orang yang sabar sekaligus orang yang bersyukur", karena kesabaranmu menghadapi syahwat itu dan kerelaanmu menerima bagian. Maka Allah akan menambah penjagaan dari dosa dan kekuatan untuk menghadapi dosa. Apabila syahwat nikah itu memang telah menjadi bagianmu, Allah akan memberikan anugerah rezeki kepadamu yang mencukupi dan menyenangkan, yang akhirnya mengubah kesabaran menjadi rasa syukur. Allah telah memberikan janji kepada orang-orang yang mau bersyukur dengan balasan berupa tambahan rezeki dari Allah SWT.


Allah telah berfirman :

"Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan, Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmatKu), sesungguhnya adzabKu sangat pedih." (QS Ibrahim : 7)

Adapun jika syahwat itu bukan menjadi bagianmu, Allah akan memberikan rasa tidak membutuhkan lagi dalam dirimu kepada pernikahan itu dengan jalan mencabutnya dari dalam hatimu, baik jiwa yang menerima atau menolak. Maka teruslah bersabar dan tantanglah hawa nafsu, dekaplah erat-erat apa yang kamu inginkan itu, dan ridhalah terhadap apa yang telah menjadi qadha' bagimu. Sungguh, Allah SWT telah berfirman :

"Katakanlah, Hai hamba-hambaKu yang beriman, bertaqwalah kepada Tuhanmu. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi ALlah itu luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabar yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas." (QS Az Zumar : 10).

Futuhul Ghaib
Baca Selengkapnya...

Tentang Mengikuti Kemauan Manusia


Syaikh Abdul Qadir Jailani ra mengatakan : Janganlah kamu meninggalkan keadaan suatu masyarakat. Wahai yang mempunyai hawa nafsu, kamu menyembah hawa nafsu sedangkan mereka adalah hamba dari seorang junjungan. Kesenanganmu adalah perkara dunia, sedangkan kesenangan mereka adlah kepada akhirat. Kamu hanya melihat dunia dan mereka melihat penguasa bumi dan langit. Penghiburmu adalah dengan sesama makhluk, sedangkan penghibur mereka adalah Dzat Yang Maha Haq. Hatimu hanya tergantung dengan makhluk yang ada di bumi, sedangkan hati mereka terhubung dengan Penguasa 'Arsy. Kamu menginginkan setiap apa yang kamu lihat, sedangkan mereka tidak melihat apa yang kamu lihat. Akan tetapi, mereka hanya melihat Allah SWT dan apa yang dilihatNya. DenganNya, kaum itu mendapat keberuntungan dan keselamatan. Sedangkan kamu akan tetap terhinakan dan tergadaikan dengan harta benda dunia yang kamu inginkan. Sedangkan mereka menyepi dan menghindar dari sesama makhluk dan hawa nafsu, keinginan, cita-cita, akhirnya mereka dapat mencapai Sang Penguasa Tertinggi.


Allah SWT lalu menempatkan mereka ke tempat yang menjadi tujuan utama mereka, yaitu berupa ketaatan dan pujian. Allah SWT berfirman :

"Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-rasulNya. Itulah karunia Allah, diberikanNya kepada siapa yang dikehendakiNya, dan Allah mempunyai karunia yang besar." (QS Al Haddid : 21).

Mereka akan terus seperti itu dengan pertolongan dari Allah SWT dan kemudahan tanpa merasakan beban dalam diri mereka. Ketaatan bagi mereka telah menjadi ruh dan makanan pokok. Dunia dalam diri mereka telah menjadi penyakit dan kehinaan. Seakan-akan mereka telah memiliki surga Ma'wa karena mereka telah melihat semuanya, sampai mereka mampu melihat ketentuan Dzat Yang telah Menciptakan dan Menumbuhkan. Pada diri merekalah bumi dan langit ini masih tegak berdiri, dan kehidupan maupun kematian masih berjalan tetap. Karena Sang Pemilik mereka telah menjadikan mereka sebagai tiang pancang dan penyangga di bumi ini. Masing-masing dari mereka seperti gunung yang menancap kokoh. Maka menyingkirlah jauh dari jalan mereka. Janganlah kamu berkawan dengan seseorang yang tidak memberikan kemanfaatan. Maka kaum yang seperti diatas itu lebih baik daripada makhluk Allah SWT lainnya. Mereka tersebar luas di permukaan bumi ini. Semoga mereka mendapat keselamatan dan penghormatan dari Allah SWT selama langit dan bumi masih ada.

Futuul Ghaib.
Baca Selengkapnya...

Kapan Seorang Salik (Yang meniti Jalan Tuhan) Itu Termasuk Golongan Ruhaniyyin (Ahli Ruhani)?


Syaikh Abdul Qadir Jailani ra mengatakan : Janganlah kalian terlalu tamak dan rakus untuk segera termasuk dalam golongan ruhaniyyin, sampai kamu mampu melawan dan menentang sesamamu, berbuat beda dengan yang dilakukan oleh anggota tubuh dan oragan-oragannya, mampu menyendiri jauh dari wujudmu, gerakanmu, ketenanganmu, pendengaran, penglihatan, pembicaraan, menggenggam, usaha, amal, dan berpikirmu. Serta semua yang muncul dan lahir dari dalam dirimu, juga apa saja yang ada setelah ruh ditiupkan kepadamu. Karena semua itu merupakan penghalang dan hijab bagimu yang menutupimu dari Tuhanmu 'Azza wa Jalla.


Apabila kamu sudah menjadi ruh yang menyendiri, rahasia dalam rahasia (sirr as-sirr), kegaiban dalam kegaiban, berlaku beda pada semua hal dalam rahasiamu, menjadikan semuanya sebagai musuh, hijab, dan kegelapan bagimu. Maka semua itu sebagaimana yang dikatakan oleh Nabi Ibrahim as dalam Al Qur'an : "Karena sesungguhnya apa yang kamu sembahitu adalah musuhku, kecuali Tuhan semesta Alam." (QS Asy Syu'araa : 77).

Beliau mengatakan pernyataan tersebut kepada berhala-berhala yang berada di hadapan beliau. Maka jadikanlah orang-orang sesamamu dan bagian-bagian darimu sebagai berhala-berhala bersama makhluk-makhluk yang lain. Janganlah kalian mentaati salah satu dari semuanya, dan janganlah mengikuti secara keseluruhan. Jika kamu menurutinya, kamu akan terhalang untuk mendapatkan rahasia-rahasia, ilmu-ilmu agama, dan keanehan-keanehannya. Dan kamu tidak akan mendapatkan takwin (anugerah tambahan) dan khariqul-'adah (kejadian di luar kebiasaan akal manusia). Keduanya merupakan pemberian dari sisi sifat qudrahNya yang diberikan kepada orang-orang mukmin di surga kelak. Maka apa saja dalam dirimu akan menjadi qudrah. Kamu mendengarkan dengan Allah SWT, mengucapkan perkataan dengan Allah SWT, melihat dengan Allah SWT, derusaha dengan Allah SWT, dan berpikir dengan Allah SWT. Kamu merasa tenang dan damai dengan Allah SWT, menjadi buta kepada selain Allah SWT, dan menjadi tuli darinya. Kamu tidak akan melihat wujud dalam Dzat selainNya dengan mengikuti semua perintah dan menjauhi laranganNya serta menjaga batasan-batasanNya. Apabila kamu melanggar dan melewati batas-batasNya, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya dirimu terkena fitnah (ujian) dan menjadi mainan syaitan. Maka kembalilah kepada hukum dan aturan syara', dan tinggalkanlah pendapat yang muncul dari hawa nafsu. Karena setiap hakikat yang tidak disaksikan oleh syari'at itu merupakan sifat zindiq (menyimpang dari islam). Wallahu A'lam...

Futuhul Ghaib.
Baca Selengkapnya...

Terkadang Maksiat Itu Diperlukan


Sebesar apa pun kemaksiatan dan dosa seseorang, jika memasuki pintu taubat, Allah tetap menyambutnya dengan Pintu Ampunan yang agung, bahkan dengan kegembiraan-Nya yang Maha dahsyat kepada hamba yang penuh dosa itu.

Karena sebesar langit dan bumi ini, jika kita penuhi dengan dosa-dosa kita, dikalikan lagi dengan lipatan jumlah penghuni planet ini, kelipatan dosa itu, sesungguhnya ampunan Allah masih lebih besar dan lebih agung lagi. Oleh sebab itu Ibnu Athaillah membesarkan hati orang yang telah berbuat dosa agar tidak putus asa terhadap ampunan Allah, bahkan orang yang berdosa namun bertobat dengan penuh rasa hina dina dihadapan Allah itu dinilai lebih baik, dibanding orang yang ahli ibadah yang merasa hebat, merasa suci, merasa paling mulia dan merasa sombong dengan ibadahnya.


Mengapa ? Karena ada dosa yang lebih tinggi lagi dibanding maksiat, yaitu dosanya orang takjub atau kagum pada diri sendiri. Bahkan Rasulullah saw. Bersabda : “Jikalau kalian tak pernah berbuat dosa, niscaya yang paling saya takutkan pada kalian adalah yang lebih dahsyat lagi, yaitu ‘ujub (kagum pada diri sendiri).”

Bahkan betapa banyak orang yang dulunya ahli maksiat lalu diangkat derajatnya menjadi manusia mulia di hadapan Allah Ta’ala. Begitu juga banyak ahli ibadah tetapi berakhir hina di hadapanNya gara-gara ia sombong dan merasa lebih dibanding yang lainnya. Orang yang beramar ma’ruf nahi mungkar, apakah ia aktivis muslim, da’i, ustadz, kyai, ulama’, muballigh, ketika mereka menyerukan amar ma’ruf nahi mungkar, lantas dirinya merasa lebih baik dari yang lain, adalah wujud kesombongan yang hina pada dirinya.

Dibanding seorang preman yang bertobat, pelacur yang bertobat, maling yang bertobat dengan kerendahan jiwa di hadapan Allah, mereka yang merasa paling Islami itu justru menjadi paling hina, jika ia tidak segera bertobat.

Nabi Adam as, mendapatkan kemuliaan luar biasa sebagai Nabi, Rasul, Khalifah, Abul Basyar, justru turun ke muka bumi, karena tindak dosanya di syurga. Namun Nabi Adam bertobat dalam remuk redam jiwanya dan hina dina hatinya di depan Allah, justru Allah mengangkat dan menyempurnakan ma’rifatnya ketika di dunia, bukan ketika di syurga dulu.

Nabi Adam as, menjadi Insan Kamil ketika di dunia, bukan ketika di syurga. Oleh sebab itu terkadang Allah mentakdirkan maksiat pada seorang hamba dalam rangka agar si hamba lebih luhur dan dekat kepada Allah. Wacana ini dilontarkan agar manusia tidak putus asa atas masa lalu dan nodanya di masa lampau, siapa tahu, malah membuat dirinya naik derajat.

Wacana ini pula tidak bisa dipandang dengan nafsu dan hasrat hawa yang berkata, misalnya, “Kalau begitu maksiat saja, siapa tahu, kita malah naik derajat…” Kalimat ini adalah kalimat yang muncul dari hawa nafsu! Wacana mengenai naiknya derajat paska maksiat, hanya untuk orang yang sudah terlanjur maksiat, agar tidak putus asa dan tetap menjaga rasa baik sangka kepada Allah Ta’ala (husnudzon).

Apalagi di akhir zaman ini, jika disurvey, membuktikan bahwa orang yang kembali kepada Allah dengan taubatnya, biasanya didahului oleh kehidupan yang hancur-hancuran, maksiat yang bernoda. Akhir zaman ini juga banyak dibuktikan, khususnya di wilayah kota, betapa banyak orang yang merasa bangga diri dengan ahli ibadahnya, ketekunan dan taatnya, diam-diam ia ujub dan sombong, merasa lebih dibanding lainnya.

Sifat hina dina adalah wujud kehambaan kita. Manusia akan sulit mengakui kehambaannya manakala ia merasa mulia, merasa sombong, ujub, apalagi merasa hebat dibanding yang lainnya. Karena itu rasa hina dina, apakah karena diakibatkan oleh kemaksiatan atau seseorang mampu menjaga rasa hina dina di hadapan Allah, adalah kunci terbukanya Pintu-pintu Allah Ta’ala, karena kesadaran seperti itu, membuat seseorang lebih mudah fana’ di hadapanNya.

Dari sini dapat kita fahami bahwa ada kalanya, dibalik ketaatan yang kita kerjakan tersimpan ha-hal yang dapat merusak keikhlasan. Sebut saja misalnya perasaan seakan-akan ibadah yang dikerjakannya sudah baik, banyak dan cukup sampai disitu. Hal yang merusak keikhlasan juga bisa dalam rupa anggapan bahwa ibadahnyalah yang menyebakan ia selamat, masuk taman suarga loka dan sebagainya hingga memunculkan rasa bangga dengan merendahkan, menghina dan melecehkan orang-orang yang tidak beribadah.

Dikutip dari: SUFI BAWAH TANAH,


@ KH Luqmanul Hakim bin H. Abdul Kholiq

@ http://www.sufinews.com
Baca Selengkapnya...

Gagasan Agama


Semua ajaran moral firman Allah (dalam Islam utamanya) memandang hidup cuma ibarat orang pergi ke pasar, yang akhirnya tentu bakal kembali kerumah asalnya. Yang lebih penting dari itu semua adalah bagaimana menginternalisasikan ajaran itu kedalam jiwa dan mewujudkannya dalam tatanan hidup sehari-hari, bagaimana membuat agama bersenyawa dengan kehidupan dan bahwa ruh agama harus mewarnai seluruh tampilan cara hidup kita. Ringkasnya, hidup itu agama dan agama itu hidup.


Agama harus menjadi pegangan hidup, dihayati secara mendalam, dilakoni dan dijadikan barometer bagi kehidupan. Berbicara mengenai hakekat bahwa agama bukan jubah, bukan surban, bukan jenggot, bukan peci, bukan tabligh akbar, bukan tahlilan, bukan shalawatan, bukan pula aroma hidup serba Arab, melainkan mahkota jiwa, hiasan keluhuran budi, benteng sopan santun, kelembutan dan semangat menjunjung tinggi kemanusiaan, keadilan dan kebenaran agar agama memancar bukan cuma di masjid atau dalam takbiran melainkan juga dalam hidup termasuk dalam politik agar hidup tak pernah kehilangan keindahannya.

Secara kultural gagasan agama tak akan pernah mendorong kita bersikap terlalu hitam-putih, bahkan rumusan agamis antara beriman dan kafir pun patut dipahami secara hati-hati sebab jarak wilayah batin antara keduanya sering terasa sangat dekat. Orang beriman sering kepeleset kewilayah kafir. Banyak orang yang tak merasa bahwa dirinya hidup dalam kekafiran. Politisi bohong, birokrat menyimpang, direktur memalsukan dokumen, pengusaha bersikap culas, apa bahasa agamanya bila bukan kafir (?). Amankah posisi para rohaniwan dari jebakan kekafiran (?), samasekali tidak ! rohaniwan yang tak rendah hati dan merasa paling benar jelas dia kemana-mana sedang berjubah kekafiran.

Ramli Izhaque.
http://sufiundergorund.blogspot.com/
Baca Selengkapnya...