DbClix

Sunday 14 February 2010

Dibalik Keajaiban Kasih Sayang


Rasulullah SAW bersabda :
“Orang yang memiliki kasih sayang, bakal disayang oleh Allah Yang Maha Penyayang – Yang Maha Memberi Berkah dan maha Luhur -, karena itu berikanlah kasih saying kepad siapapun dimuka bui ini, maka yang dilangit, akan menyayangimu.”
(HR. Ahmad, Abu Dawud dan Tarmidzi).

Dalam hadist yang mulia ini ada keajaiban yang luar biasa dari ilmu-ilmu dan rahasia Allah, dimana Al-Musthofa Nabi Muhammad SAW memerintahkan adanya cinta dan kasih saying terhadap semua makhluk di muka bumi, agar kasih saying dari malaikat luhur di langit melimpah pula.


Karena langit adalah jalan bagi turunnya Kasih Sayang Ilahi, dan tempat sumber limpahan-limpahan alam cinta dan kasih saying, sekaligus tempat hunian para malaikat yang dijadikan sebagai perantara rahasia-rahasia antara DiriNya dan para makhlukNya.

- Bila Allah melimpahkan rahmat dalam rahasia malaikat rizqi, maka Allah memberikan pertolongan kepada pencari rizqi.
- Bila Allah melimpahkan rahmat kepada rahasia pencatat amal, maka Allah memberikan kelupaan hamba terhadap keburukan-keburukan.
- Bila Allah mellimpahkan pada rahasia malaikat Raqib, maka Allah memberikan pertolongan dan kasih saying. Kasih saying adalah perilaku jiwa kaum ‘arifin dan sekaligus menjadi mi’raj qalbunya menuju YTuhannya. Sedangkan hamba-hamba Allah yang ‘arifin tadi merupakan pantulan manifestasi Rahmat Tuhan semesta alam bagi para makhlukNya. Dan Dia adalah Maha Suci nan Maha Cinta dan Kasih.

Anak-anak sekalian… Bila kalian mewujudkan sift kasih saying kepada sesame makhluk, anda pasti dirahmati. Jika anda bermajelis dengan kaum ‘arifin, pasti anda sukses jiwamu. Jika anda bertanya pada kaum yang penuh hikmah Rabbaniyah pasti anda mendapatka pengetahuan. Segala sesuatu itu ada kuncinya. Kunci ilmu itu bertanya (jika tidak tahu). Jika anda bias hendaklah bermajelis dengan kaum ‘arifin, yang bias anda gali pengetahuan mereka dan hakikat rumusnya, kelembutan isyaratnya, maka sungguh anda meraih keuntungan. Karena yang paing mulia diantara para Ulama dalah para Ulama Rabbaniyyun, yang sangat agung disbanding siapapun dimuka bumi selain Allah. Karena mereka ini adalah kekasih-kekasih Allah dan pengemban amanah rahasiaNya.

Maka jagalah kehormatan mereka, gerakan intuisi mereka dengan bertanya yang baik. Karena gejolak ombak dari intuisi kaum ‘arifin itu tidak akan pernah sirna keajaibannya. Maka cukuplah disebut tolol bagi seseorang yang tidak mau belajar pada mereka, maraih limpahan dari kemampuan mereka. Padahal Allah SWT telah berfirman :

“Bertanyalah kepada ahli dzikir manakala kalian tidak tahu”.

Nabi SAW juga bersabda :

“Bermajelislah dengan orang-orang yang berjiwa besar dan bertanyalah kepada para Ulama dan bergaullah dengan para ahli hikmah (Ilahiyah).”

Adab pencari ilmu.
Dzun-Nuun al-Mishry berkata : “Ada seorang tokoh di Maroko diceritakan sifat-sifatnya padaku. Hingga akhirnya aku menempuh perjalanan kesana. Selama 40 hari aku diam disana, namun aku tidak mendapatkan pengetahuan apa-apa. Saya tahu tokoh itu sangat sibuk dengan Tuhannya. Padahal aku pun juga tidak pernah sedikitpun mengurangi rasa hormatku. Suatu hari ia melihatku :
“Dari mana seorang pengembara ini?” tanyanya.
Aku ceritakan perjalananku dan sebagian kondisi jiwaku.
“Apa yang membuat anda kemari?”
“Saya ingin menggali ilmu anda…” kataku.
“Taqwalah kepada Allah dan pasrahlah kepadaNya. Karena Dia adalah Yang Maha Memelihara nan Maha Terpuji,” katanya kemudian diam begitu lama.
“Mohon ditambah lagi bagiku, semoga Allah merahmatimu. Saya ini orang yang sangat asing, dan dating dari negeri yang jauh. AKu ingin bertanya banyak hal yang bergolak di batinku…”
“Anda ini pelajar, seorang Ulama atau peneliti?” tanyanya padaku.
“Saya ini pelajar yang sangat butuh pengetahuan.”
“Nah, anda sebaiknya tetap diposisi anda sebagai pelajar. Jagalah adb dan jangan melampaui batas. Sebab jika anda melampaui batas adab tadi malah rusak manfaatnya.
Para cendikiawan itu dari kalangan para Ulama. Sedangkan para ‘arifun itu dari kaum Sufi yang menempuh jalan kebenaran dan menumpuh segala jerih payah kesusahan, mereka pergi dengan kebajikan dunia kahirat.”
“Semoga Alla memberikan rahmat padamu. Kapankah seorang hamba sampai pada tahap yanganda ungkapkan sifatnya itu?” tanyaku lagi.
“Jika ia telah keluarkan hatinya dari sebab akibat duniawi.”
“Kapan seorang hamba bias demikian?”
“Jika ia telah keluar dari merasa bias berdaya dan berupaya.”
“Apakah pangkal akhir seorang ‘arif itu?”
“Jika semuanya seperti tiada ketika semuanya ada.”
“Kapan sampai pada martabat shiddiqin?”
“Jika sudah mengenal dirinya.”
“Kapan mengenal dirinya?”
“Jika telah tenggelam dilautan anugerah. Dan keluar dari tempat ke-egoannya dan berpijak pada langkah keluhuran.”
“Kapan sampai pada sifat-sifat itu?”
“Bila ia duduk di kapal ketunggalan.”
“Apa kapal Ketunggalan itu?”
“Menegakkan ubudiyah yang benar.”
“Lalu kebenaran ubudiyah itu yang bagaimana?”
“Beramal hanya bagi Allah Ta’ala, dan Ridho terhadap ketentuan Allah.”
“Kalau begitu berilah aku wasiat…”
“Aku wasiat kepadamu, agar terus bersama Allah.”
“Lagi…”
“Cukup!”

Abdul Wahid bin Zaid ra, mengisahkan, “Suatu hari aku bertemu dengan seseorang ketika diperjalananku, ia memakai baju dari bulu. Aku ucapkan salam padanya.
“Semoga Allah merahmatimu, aku ingin bertanya suatu hal.”
“Silahkan. Hari-hari telah lewat dan nafas itu dihitung dan dibatasi. Sedangkan Allah terus menerus mendengar dan melihat.”
“Apakah pangkal taqwa itu?”
“Sabar bersama Allah Ta’ala,” jawabnya.
“Sabar itu pangkalnya apa?”
“Tawakal pada Allah.”
“Pangka tawakal?”
“Memutuskan diri hanya bagi Allah.”
“Pangkal memutuskan diri hanya bagi Allah?”
“Menyendiri bersama Allah.”
“Pangkal menyendiri?”
“membuang dari hati, segala hal selain Allah.”
“Kalu hidup paling nikmat?”
“Berbahagia dengan dzikrullah.”
“Kalau hidup paling bagus?”
“Ya, hidup bersama Allah.”
“Apa yang disebut paling dekat?”
“Bertemu Allah.”
“Apa yang paling membuat hati lapar?”
“Pisah dengan Allah.”
“Apa sesungguhnya cita-cita sang ‘arif?”
“Bertemu Allah.”
“Kalau tanda-tanda pecinta Allah itu?”
“Mencintai dzikrullah.”
“Apakah mesra berbahagia dengan Allah itu?”
“Meneguhkan rahasia jiwa bersama Allah.”
“Apakah pangkal kepasrahan diri itu?”
“Menyerahkan diri total terhadap perintah Allah.”
“Lalu pangkal menyerahkan diri total?”
“Mengingat pertanggung jawaban dihadapan Allah.”
“Apakah kegembiraan paling agung?”
“Husnudzon kepada Allah.”
“Kalau manusia paling agung?”
“Manusia yang merasa puas jiwanya pada Allah.”
“Lalu siapa manusia paling kuat?”
“Orang yang meraih kekuatan bersama Allah.”
“Kalau orang yang bengkrut itu siapa?”
“Orang yang rela pada selain Allah.”
“Apakah kehilangan harga diri itu?”
“”Bila menanjak jiwanya tanpa bersama Allah.”
“Kapan seorang hamba terjauhkan dari Allah?”
”Bila ia tertutup dari Allah.”
“Kapan seseorang itu tertutup dari Allah?”
“Bila di hatinya masih ada hasrat selain Allah.”
“Siapakah orang yang alpa itu?”
“Siapapun yang menghabiskan umurnya tanpa disertai ketaatan pada Allah.”
“Apakah zuhud di dunia itu?”
“Meninggalkan segala hal yang menyibukkan hatinya dari Allah.”
“Siapakah orang yang menghadap Allah?”
“Ya, siapapun yang menghadap pada Allah.”
“Lalu siap yang lari dari Allah?”
“Siapapun yang lari dari Alah.”
“Apakah Qolbun Salim itu?”
“Qalbu yang didalamnya tidak ada lagi selain Allah.”
“Tolong beritahu aku, darimana anda makan?”
“Dari kekayaan Allah.”
“Apa sih yang anda sukai?”
“Apapun yang ditentukan Allah padaku.”
“kalau begitu bari aku wasiat…”
“Lakukan taat kepada Allah dan ridho-lah kepada ketentuanNya, bersenanglah dengan dzikrullah, maka kalian akan jadi pilihan Allah.

Orang yang mengenal Allah tidak akan maksiat.
Suatu hari dalam perjalananku, kata Dzun Nuun al-Mishry, aku bertemu dengan orang tua, yang diwajahnya ada tanda sebagai kaum ‘arifin.

“Semoga Allah merahmati anda. Manakah jalan menuju Allah?” tanyaku padanya. “Kalau anda mengenalNya pasti anda jalan menuju padaNya”.
“APakah seseorang bias beribadah kepadaNya tanpa mengenalNya?”
“Apakah orang yang mengenalnya itu maksiat padaNya?”jawabnya.
“Bukankah Adam AS, itu maksiat padaNya dengan keparipurnaan ma’rifatnya?”
“Maka dia lupa, dan………. Sudahlah kita jangan berdebat!”
“Bukankah perdebatan Ulama itu Rahmat?”
“Memang. Kecuali dalam soal konsentrasi Tauhid.”
“Konsentrasi Tauhid yang bagaimana?”
“Menghilangkan pandangan selain Allah karena KemahatunggalanNya.”
“Apakah orang ‘arif itu gembira?”
“Apakah orang ‘arif itu gelisah?” katanya balik Tanya.
“Bukankah orang yang mengenal Allah itu selalu gundah hatinya?”
“Tidak, bahkan orang yang mengenal Allah kegundahan datinya sirna.”
“Apakah dunia bias merubah hati orang ‘arifin?”
“Apakah akhirat bias merubah hatinya?” katanya lebih tajam.”
“Bukankah orang ‘arif itu sangat menghindari makhluk?”
“Na’udzubillah, sang ‘arif tidak pernah gentar dengan makhluk, hanya saja dia hatinya hijrah dan menyendiri bersama Allah.”
“Apakah ada yang mengena orang ‘arif?”
“Nah, apakah ada yang tidak mengenalnya?” jawabnya.
“Apakah sang ‘arif bisa putus asa terhadap perkara selain Allah? Hingga ia harus putus asa?”
“Apakah sang ‘arif itu juga rindu pada Tuhannya?”
“Apakah sang ‘arif pernah kehilangan Allah, sampai ia harus rindu padaNya?”
“Apakah Ismul A’dzom itu?”
“Hendaknya anda katakana, Allah.”
“Banyak sekali ucapan anda tetapi tidak bisa membuat dirimu bergetar oleh charisma Ilahi!” kataku.
“Karena anda berkata dari dorongan dirimu, bukan dari dorongan Ilahi.”
“Nasehati diriku!”
“Sudah cukup banyak nasehat bagimu, yang penting anda tahu bahwa Dia melihatmu.” Lalu aku meninggalkan orang itu. Namun begitu bangkit aku bertanya lagi.
“Apa yang ingin kau perintahkan padaku?”
“Cukuplah dirimu melihat dirimu dalam seluruh tigkah laku jiwamu…”

Yahya bin Mu’adz – Rahimahullah Ta’ala – ditanya :
“Apakah tanda hati benar itu?”
“Hati yang istirahat dari kesusahan dunia,: jawabnya.
“Kalau konsumsi hati?”
“Dzikir yang hidup, tak pernah mati.”
“Lalu kehendak yang benar itu seperti apa?”
“Meninggalkan kebiasaan-kebiasaan manusiawi!”
“Makna rindu?”
“Terus menerus focus pada Yang Di Atas…”
“Kapan perkara hamba Allah tuntas?”
“Jika tentram bersama Allah tanpa hasrat.”
“Kalau tanda-tanda seorang pembunuh?”
“Tandanya ia tidak sibuk (hatinya) dengan urusan makhluk…”
“Lalu pangkal hidayah itu apa?”
“Kataqwaan yang benar!”
“Apa yang disebut dengan kenikmatan?”
“Berserasi dengan Allah.”
“Siapa yang disebut sebagai orang asing?”
“Siapa pun yang cinta dihatinya, tidak mencari keuntungan.”
“Kapan seorang hamapa sampai pada wilayah Tuhannya?”
“Bila hatinya lepas dari segala hal selain Allah Ta’ala.”
“Apakah yang disebut dengan kebebasanagung itu?”
“Penyerahan total kepada Sang Tuhan…”
“Apakah amal paling utama?”
“Dzikir kepada Allah kapan dan dimana saja”’
“Apa yang disebut dengan kebutuhan besar?”
“Kebutuhan besar adalah melanggengkan bahagia bersama Allah.”
“Apakah yang menjadi hijab qalbu?”
“Merasa puas (selesai) dengn Tuhannya.”
“Apakah ihdup yang indah itu?”
“Hidup bersama Yang Maha Agung’”
“Lalu hahikat berserasi dengan Allah?”
“Adalah berlangkah benar dan bersih.”
“Siapakah para pecinta itu?”
“Kaum ‘arifin.”
“Siapa yang disebut orang mulia?”
“Siapapun yang meraih kemuliaan bersama Yang Maha Mulia.”
“Siapa yang disebut manusia utama?”
“Siapapun yang bermesra bahagia dengan Yang Maha Lembut.”
“Siapa yang disebut orang alpa?”
“Siapapun yang menyia-nyiakan usianya.”
“Apakah yang disebut dunia?”
“Segala hal yang membuat anda lupa pada Allah.”

Memang benar, sumber kema’rifatan adalah qalbu, karena firman Allah Ta’ala :

“Sesungguhnya syi’ar itu dari ketaqwaan qalbu.”

Sedangkan sumber Musyahadah adalah kedalaman qalbu. Karena firmanNya:

“Kedalaman qalbu tak pernah dusta terhadap apa yang dilihatnya.”

Sumber cahaya adalah dada, karena firmanNya :

“Bukankah orang yang dilapangkan dadanya oleh Allah terhadap Islam, maka dialah yang mendapatkan cahaya dari TuhanNya?”

Dan segala cinta yang semakin bertambah, senantiasa menambah rasa cinta kita kepada Rasulullah SAW, dan para wali-walinya…

Haalatu Ahlil Haqiqah Ma'Allah (Syekh Ahmad Ar-Rifa'y)
Alih Bahasa oleh : KH. Luqman Hakim MA.

No comments:

Post a Comment